Kejahatan Kemanusiaan Di Indonesia Selalu Diakhiri Impunitas

  24 Nov 2011, 07:03

Majalah Tempo (13/11/011) melaporkan secara tuntas tentang siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap genocida terhadap orang-orang tak berdosa yang dituduh (tanpa diadili) sebagai komunis/PKI. Jumlah korban sampai sekarang tetap simpang siur tetapi angka jutaan dianggap resmi. Apa yang dimuat Tempo itu sebenarnya sudah rahasia umum, karena semasa pemerintahan Orba banyak buku-buku karya sarjana asing sudah membukanya. Sejarah Indonesia pasca 1965 sampai Orde Reformasi memang kelabu. Tempo konsisten dalam menyuguhkan kepada pembacanya informasi yang gelap dibikin terang "jurnalistik adalah sejarah yang ditulis hari ini." Demikian pedomannya.

Begitu juga Kompas menulis hal serupa tapi tak sama (14/11/011) tentang pejuang HAM Argentina, Patricia Isasa, melalui wartawati Maria Hartiningsih yang begitu hebat kalau sudah menulis masalah-masalah kemanusiaan. Humanis transendental, mengikuti jejak bosnya Jakob Oetama, antara "benturan spirit yang luhur dengan daging yang lemah." Membaca kedua media itu, penulis merinding bulu kuduk. Karena menyaksikan sendiri peran militer pasca 1965 dengan menggunakan ormas-ormas terutama agama mengejar-ngejar orang seperti tikus. Gus Dur ketika menjadi presiden, secara terbuka minta maaf kepada keluarga korban karena keterlibatan Pemuda Ansor.Karena NU banyak dipimpin oleh kaum moderat, maka kini Ansor menjadi pelindung utama kaum tertindas, minoritas, apalagi kalau ada gejala gerakan mengarah kepada kaum Kristiani.

Penulis juga ingat menjelang Lebaran 2010, para keluarga korban aktivis Reformasi 1998 yang hilang, berbondong-bondong masuk markas korps baret merah di Cijantung menanyakan anak, suami, saudara yang hilang sampai sekarang tak diketemukan kuburnya. Juga ketika Reformasi 1998, markas baret merah di Kartasura, Solo, didemo masyarakat, Pokoknya era reformasi ini gerakan HAM sudah tidak takut-takut lagi. Namun pihak status quo sampai sekarang masih dominan, sehingga semua pelaku kejahatan aman-aman saja. Impunitas tidak ada yang dihukum atau proses pengadilan. Contoh kasus Munir dan korban hilang 1998 tetap digelapkan.

Bagi para korban pasca 1965 jika mencari keadilan dan kebenaran selalu ditelikung, diteror terutama oleh ormas-ormas agama. Persis dulu militer menggunakan ormas dengan dalih, itu " bentrokan horizontal". Butuh keberanian untuk membukanya, seperti di Argentina dan Chile, di mana hakim-hakim agungnya dengan dukungan internasional maju ke depan sebagai pejuang HAM. Juga ingat, Rawagede Bekasi, kejahatan serdadu Belanda di tahun 1948 terhadap penduduk Krawang Jabar bisa diungkap di negeri Belanda melalui pengadilan Belanda.

KarmaDalam ketidakberdayaan korban ini, kuasa alam rupanya ikut membantu. Penulis banyak menyaksikan mereka yang menjadi "tangan-tangan kotor" HAM, anak cucunya yang nyaris juga tidak tahu apa-apa dosa orang tua/kakeknya terkena karmanya. Ada yang gila, kacau rumah tangganya, dijadikan obyek pelecehan individual maupun masyarakat. Sekalipun bisa menjadi pemimpin atau tokoh masyarakat. Lalu, ada pertanyaan apakah presiden SBY yang segala gerakannya selalu diganjel anak buahnya sendiri, atau lalu timbul sinis reaksi masyarakat. Apakah itu juga rangkaian dari karma?

(Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi