The Singer Not The Song
22 Dec 2011, 05:11
Penyanyinya, bukan lagunya memang ada kaitan bentuk dan nuansa musik, tetapi tidak bicara musik melulu. Namun sebelum menyelami pokok isi kisah seperti pada judul mari kita berpikir agak lain. Analogis.
Konon berpikir terbaik adalah berpikir analogis selain kritis dan analisis. Pengertian sederhana analogis- serupa tapi tak sama (lebih kurang begitu).
Ada film tua berjudul The Singer Not the Song -berkisah tentang- the outlaw -pelanggar hukum. Pelanggar hukum harus dihukum. Mengapa penulis naskah film tersebut memberi judul demikian? Ia ingin menyederhanakan pengertian seluruh isi dan bentuk ceritera dengan analog! Sederhana mudah dicernakan dan pesan moral film dapat cepat dan tepat difahami penonton. 'Penyanyi ia analogkan sebagai semua orang yang menjalankan semua peraturan perundangan yang berlaku dalam hidup bermasyarakat bernegara'. Mereka bisa aparat pemerintah, punggawa kantor pemerintah atau swasta, dan masyarakat umum. Pokoknya semua warganegara.
Song atau lagu dianalogkan dengan semua peraturan perundangan resmi dengan seluruh kelengkapan pendukung yang berlaku di negeri itu. Termasuk hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai kebaikan.. Bagaimana semua hukum peraturan dan perundangan itu dijalankankan di negeri kita tercinta Indonesia. Mari berasumsi bahwa tiap hukum, peraturan dan perundangan itu disusun dengan niat baik. Mau kemana tulisan ini? Cermati beberapa peristiwa hukum yang terjadi dengan peraturan, undang undang dan pelaksanaannya selama hampir setahun di negeri tercinta Indonesia.
Anggap saja ini kaleidoskop anekaragam hukum dan peraturan perundangan dan pelaksananya. Tak ada undang undang atau peraturan yang jelek (yang tidak valid banyak). Ibarat lagu, tak ada yang dicipta dengan niat dan kualitas jelek (meski tetap ada lagu jelek). Tapi mari berpikir positif. Untuk itu mari ambil sampel 'penyanyi' Nazarudim, Gayus Tambunan -dan puluhan bahkan ratusan, ribuan Gayus lain yang berkeliaran di segala wilayah basah yang bisa dijarah.
Semua orang yakin tak akan ada peraturan tertulis menegaskan: "Uang pajak rakyat dapat dibajak, dijarah." Tetapi toh terjadi. Hebatnya Gayus masih berani 'bernyanyi' nyaring. Eh, ada penyanyi lain yang ambil bagian dalam pergelaran nyanyiannya. Rupanya ia bukan satu satunya 'solist' symphoni korupsi masa kini di negeri ini. Sebagai penyanyi hanya ber'ranking III' di instansinya, pantas dipertanyakan bagaimana ranking penyanyi lain yang lebih tinggi. Semua orang dibenarkan duga menduga apa yang terjadi. Walau ada yang percaya dan berharap: "Semoga asas opportunity makes the thief tidak berkembangbiak di negeri ini." Pembaca tak perlu sewot mikir yang bukan porsi mikir kita. Apa kita tidak boleh peduli? Serahkan ke penegak hukum, titik! Penegak hukum? Asstagfirullah, jas bukak iket blangkon -dibukak sami mawon- kata eyang saya yang Jawa deles yang masih setia pakai surjan dan blangkon. Apa arti jelasnya? Ya sama saja. Di sini korup di sana korup. Disini senang disana senang Meski masuk bui, tak perlu kecil hati. Penyanyi masih bisa lihat sana lihat sini, mampir nonton tennis di Bali. Adakah efek jera dengan masuk penjara? Mengapa harus jera? Penjara bukan terminal kekal bagi penyanyi yang punya akal. Semua bisa diatur dan ditata. Lagu bisa diinterpretasi sesuka hati. Peraturan bisa dilurusbengkokkan seirama situasi.
Masih adakah lagu merdu merayu terdengar syahdu menyentuh kalbu yang dinyanyikan penyanyi sejati? Tentu ada. Siapa mereka? Mereka penyanyi yang masih punya kata hati dan emphati. Yang berusaha menyanyikan lagu sebaik seperti tuntutan isi koraposisi lagu. Adalah mereka yang dikatagorikan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, para guru, para pendidik. Apa kata mereka tentang lagu yang sengaja 'disumbangkan' yang berwujud kecurangan penyelenggara Ujian Nasional di Sumatera Utara atau Jawa Timur?
Terjadi deviasi arah tujuan diselenggarakannya UN oleh beberapa oknum juga peserta didik. Para guru -penyanyi sejatimenyanyikan dengan nada forte karena yakin itu keliru. Tetapi para petinggi membalas dengan nyanyian bantahan yang tak kalah seru dalam nada fortefortissimo -amat keras sekali. Tak ada kecurangan itu kilah mereka.
"Astagfirullah", rekan saya menyatakan keheranannya, "Wong jelas banyak saksi kok bersikukuh UN bersih dari kecurangan. Ia diam tak mengerti. la bergumam". Dunia pendidikan, ajang penciptaan kader pemimpin masa depan, justru diracuni bisa. 'la ingat konon ada slogan berbunyi, kami 'bisa'. Apakah ini artinya kami racun? Semoga bukan dan tidak. Bagaimana menyikapi penyanyi yang analog dengan: the outlaw?
Bicara tentang 'the outlaw singer' pembawa bencana yang menyanyikan lagu yang di simpangkan tanpa suara hati dan intensi suci rasanya tak akan ada habisnya Tiap hari nyanyian sumbang berkumandang lewat radio, televisi, tidak pagi, malam atau siang. Penonton dan masyarakat lama kelamaan menjadi terlatih menjadi saksi penyimpangan dan ketimpangan informasi.
Mau protes? Kepada siapa? Untuk apa? Apa ada yang peduli? Mungkin organisasi kemasyarakatan? Jangan-jangan mereka sudah bosan turun di jalan lantaran hasil tak sepadan. Atau melakukan demonstrasi tanpa efek berarti? Atau kepada pemerintah? Tentu. Meski pemerintah tidak dengan hatinya mendengarkan. Atau sebaiknya kita ambil bagian secara aktif dalam "penyumbangan " lagu agar tidak dianggap kurang partisipatif dalam berbangsa dan bernegara? Jelas ini bukan dalih yang sahih.
Apakah the singer not the song dengan cakupan pengertian seperti dibahas di atas juga melanda penyanyi gereja di dalam gereja saat misa? Mengapa dipertanyakan? Jangan jangan pada ketularan? Tidak mungkin. Penyanyi gereja saat menyanyi adalah pewarta kebenaran yang tak bakal 'menyumbangkan' lagu yang dinyanyikan.
Umat Katolik punya disiplin musik tinggi. Karena musik adalah bagian liturgy, dimana setiap kata berisi nilai nilai Injili. Dus, bukan sembarang text, syair atau kata kata. Semua mengarah pada keteladanan Kristus Sang Jalan Kebenaran dan Hidup. Mau disimpangsumbangkan? Resiko di tanggung sendiri, meski imbas ke lingkungan sekitar tak terhindar. Bagaimana implementasi isi lagu gereja dan lagu rohani dalam keseharian kita? Mungkin tak jauh dari realitas judul - the singer not the song. Aneh? Tidak. Selama sosok itu masih manusia di sana bertengger kelemahan ketidakberdayaan yang cenderung meniadakan Tuhan dan ajaran-Nya.
The Singer not the Song memang bukan omong kosong. Namun kidung Natal yang sebentar terkumandangkan di seantero jagad tak mungkin 'tersumbangkan' karena kehadiran Kristus bukan janji kosong, umat merasa 'plong' dosa-dosa diampuni.
Bergembiralah karena Tuhan maka la akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Mohon lah agar tak ada 'penyanyi penyumbang' ajaran-ajaran kasih- MU - limpahilah bangsa dan Negara kami damai sejati damai Kristiani.
Selamat Natal.
Suwanto SoewandiLingkungan St. benedictus
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |