Sadar Peran di Hari Natal

  22 Dec 2011, 03:39

Harus disadari setiap orang memiliki perannya dalam kehidupan, baik di rumah maupun di tempat kerja, dimanapun berada. Ada yang didapuk sebagai pelayan dan yang dilayani, memimpin dan dipimpin, dan banyak peran yang lainnya.

Sadar Peran di Hari Natal

Dalam artikel ini, seakan kita diingatkan untuk "sadar panggung" dimana dan sebagai apa kita di sebuah kegiatan atau kejadian. Nah, sebelum Anda melangkah ke paragraf kedua, saya mengingatkan bahwa dibutuhkan telinga yang dingin dan hati yang lapang untuk membaca catatan ini, agar Anda menangkap pesan penting yang tersirat.

Lucu, kadang juga geli, tapi seringkali miris ketika menyaksikan segelintir umat yang naik darah sebelum dan setelah Misa. Tentulah ada sebabnya dan bisa dipastikan berasal dari lapangan parkir. Tempat paling pelik di jazirah MBK. Tenang saja, artikel ini tidak berisi cerita tentang umat yang mendadak naik pitam di tempat parkir. Selain itu, kan tidak baik di masa Natal kok rasan-rasan (membicarakan orang lain -Red) jadi bagaimana kalau kita membaca profil dan harapan para Pemangku Perparkiran, satuan pengaman yang biasa disingkat Satpam.

Sadar Peran di Hari Natal

Ingin mengingatkan saja bahwa pada Majalah Warta Minggu edisi khusus Paskah 2011, kami telah mengangkat profil 3 anggota pengaman yaitu Matius Lumi, Lorensius Susanto, dan Teddy Hasibuan. Kali ini WM akan mengangkat profil Sukirman dan Sutito.

Sukirman Melayani dengan KasihAdalah seorang Sukirman, yang lahir di Bantul tidak begitu jauh dari Candi Ganjuran 43 tahun lalu. Obrolan di pagi itu WM mulai dengan pertanyaan tentang tugas pengaman yang merangkap juru parkir di hari Sabtu dan Minggu. Saat itulah puncaknya aktifitas Gereja. Tugasnya mengatur mobil-mobil agar tertata rapi menjadi tugasnya di awal misa pertama hingga terakhir berakhir.

Nah, masalah memang selalu muncul saat satu persatu umat yang datang dengan tempat yang memang kurang strategis tempat sendiri yang menurut mereka memaksakan kehendaknya.

Strategis yang dimaksudkan adalah mendapatkan tempat parkir yang dekat dengan pintu Gereja, mudah parkirnya dan jika akan keluar lebih mudah dan cepat aksesnya ke gerbang exit. Setuju bukan?

Melayani dengan kasih, itulah yang menyebabkan Sukirman setia pada tugas dan tanggung jawabnya. Lebih sebagai penanggung jawab keamanan, Sukirman terkadang harus memperlakukan (beberapa) umat dengan pelayanan yang premium, first class. Mungkin karena Jakarta itu kota besar, kotanya para bendoro (juragan-red), sehingga sikap dan perilaku penghuninya ya seperti bendoro, ini masih mungkin.

Namun, penyuka sayur pepaya ini mengatakan bahwa hal-hal yang seperti itu adalah bagian dari tugasnya yang harus diterima dan dilaksanakan. "Tidak mungkin membalas kemarahan dengan kemarahan, Saya kan juga karyawan Gereja. Masak karyawan Gereja galak," katanya sambil tersenyum. Tiba-tiba telepon di pos Satpam berdering, Sukirman mengangkat telpon kemudian meluncurlah keterangan tentang jam Misa hari Sabtu dan Minggu. "Tugas lain dari Satpam Gereja!" selorohnya sambil menutup telpon.

Sukirman merantau ke Jakarta saat usianya 18 tahun karena tawaran kerja dari Almarhum Suster Theodora Os untuk menjadi pesuruh di Sekolah Abdi Siswa. Karena masih belum ada lowongan Sukirman menganggur selama dua bulan. Akhirnya pada bulan Agustus 1988 diterima bekerja di Sekolah Abdi Siswa, sampai mengundurkan diri pada tahun 1993 karena menikah. Setahun kemudian anak pertamanya lahir, perempuan, dan diberi nama Eri Kriswanti. Saat itu Sukirman bekerja sebagai tenaga serabutan di bilangan Puri Indah.

Tahun 1997 karena krisis ekonomi dan rasionalisasi karyawan Sukirman kembali menganggur. Karena harus menghidupi anak istri, pekerjaan apa saja dilakukan termasuk mendorong gerobak sampai berjualan rokok di daerah Kayu Putih Serpong. Karena daerah itu segera di bangun kota satelit Bumi Serpong Damai maka warung rokok Sukirman kena gusur.

Karena beban hidup yang menumpuk, akhirnya Sukirman memberanikan diri untuk mencurahkan isi hatinya kepada Romo Sixtus Pudjadarma O.Carm. Kemudian atas bantuan Romo Sixtus, istri Sukirman bekerja di Gereja Maria Kusuma Karmel sebagai juru masak. Beberapa bulan kemudian atas saran Romo Hadi, Sukirman yang masih menganggur disuruh menemui Pak Nik Soetanto untuk bekerja sebagai tukang kebun di MBK. Bapak dari satu perempuan dan tiga laki-laki ini pernah juga menjadi pembantu koster hingga di tahun 2003 saat salah seorang Satpam pensiun, Sukirman, diminta untuk menggantikannya.

Kesetiaan SutitoSetahun kemudian di tahun 2004 bergabung lagi seorang petugas keamanan yang bernama Sutito. Pria yang ramah dan murah senyum ini mengawali karir di MBK sebagai petugas cleaningservice. Ceritanya bermula dari istrinya yang melahirkan anak pertamanya, Dika Bintang Ramadhan. Saat itu Sutito sedang tidak punya pekerjaan tetap. Kadang ada tapi seringkali nganggur. "Bekerja di bangunan kan begitu, bahasa Jawanya rok-rok asem," ceritanya kepada WM di depan Aula.

Saat anaknya lahir ada kerabat istrinya, Katini, yang datang berkunjung untuk mengucapkan selamat. Saat itu pula Sutito mendapat informasi bahwa Gereja sedang membutuhkan tenaga untuk cleaning service di MBK dan dia diminta untuk menemui Pak Gunawan. Singkatnya pada 1994, pria kelahiran Jatisari-Wonogiri, ini resmi bekerja di Gereja MBK.

Menurut pemilik nama panggilan Tito ini, kepergiannya ke Jakarta tahun 1994 karena tertarik melihat teman-temannya yang bisa hidup dan bekerja di Jakarta. "Maklum, desa saya kan kering. Kalau genthong (tempat air) kosong saya harus mikul air dua kaleng minyak sejauh 2 kilo. Mau kerja apa di sana," tuturnya.

Dulu sebelum mengadu nasib di Jakarta, Sutito membantu orang tuanya di sawah atau angon kambing dan sapi. "Saya punya tiga kambing dan satu sapi potong", katanya. Ketika ditanya WM tentang masa kecilnya Tito malah tertawa terbahakbahak. Pasalnya, dia dulu suka mencuri jambu biji milik tetangga. "Walaupun sudah diberi pagar tetap saja curi jambunya," ceritanya. Bahkan tak jarang pemilik pohon jambu tersebut lapor pada orang tua Tito, kontan Tito pun diomeli orangtuanya.

Penyuka sambel walang sangit (belalang padi hidup di tumbuk dengan cabe dan bawang putih) ini merasa senang dan bahagia bekerja di MBK, "Walaupun saya Muslim tapi tidak pernah dibedabedakan," katanya sambil tersenyum bangga. "Saya juga senang karena bisa kenal dengan banyak orang baik. Saya juga harus bahagia karena dulu saya tidak punya apa-apa dan sekarang saya hidup cukup," sambungnya.

Ketika WM bertanya tentang parkiran, Tito mulai tersenyum kecil. Menurutnya, beberapa umat memang senengnya ngotot, padahal sudah ada tanda larangan. Tetapi kalau diingatkan seringkali malah marah-marah. Atau ada juga yang memaksa parkir di tempat yang menghalangi mobil lain, ketika diingatkan untuk tidak menarik rem tangannya malah menarik, alasannya mobilnya tidak boleh didorong-dorong. "Terkadang pemilik mobil yang posisi parkirnya terjepit juga menyalahkan saya," ujarnya. "Ini bagian dari tugas dan tanggung jawab saya. Harus penuh cinta kasih," tambah Tito.

Ya, karena itulah di awal tulisan ini WM merasa geli. Karena sering kali kejadian-kejadian tersebut terjadi juga di depan ruang Warta Minggu.

Selamat Natal, semoga berkah Natal membuat kita lupa pada mental bendoro.

Warta Minggu

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi