Cinta, Pengampunan dan Pengharapan
Yeremias Jena / Katekis | 26 Sep 2016, 10:39
"Mencintai berarti memberikan cinta kepada yang tidak dicintai. Memaafkan berarti mengampuni yang tak-terampuni. Iman berarti percaya pada yang tak-dapat-dipercaya. Pengharapan berarti berharap pada segala hal yang tampaknya sia-sia." Itu kata-kata indah yang pernah diucapkan Gilbert Keith Chesterton (1874-1936), seorang sastrawan Inggris.
Cinta, pengampunan dan pengharapan. Itulah tiga watak unggul yang oleh Chesterton didorong sampai ke ambang batasnya. Betapa tidak! Mencintai orang yang sanggup membalas cinta tersebut bukan sebuah tindakan yang sulit dilakukan. Tuhan Yesus berkata, "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (Mat 5:46). Dalam konteks Kristiani, ada banyak tindakan mengasihi pada batasnya yang paling ekstrem, sebut saja mengasihi orang yang membenci kita, mengasihi orang yang dibuang, ditelantarkan, yang kehilangan harapan, dan semacamnya, persis ketika mereka tidak memiliki kemampuan untuk membalasnya dan hanya berharap agar Tuhan dapat membalasnya.
Begitu pula dengan 'pengampunan'. Per definisi, 'mengampuni' berarti tidak lagi memiliki perasaan marah kepada mereka yang melakukan kesalahan kepada kita. 'Mengampuni' juga berarti tidak lagi marah kepada sesuatu (keadaan, pengalaman, dan semacamnya), atau juga berhenti menuntut pembayaran dari seseorang. Dalam arti itu, mengampuni mengindikasikan tindakan aktif kita untuk mengambil langkah pertama memberikan pengampunan. "Jika kamu tidak bisa mengampuni, kamu bukan orang Kristiani," demikian Paus Fransiskus dalam perayaan Ekaristi di Santa Martha Vatican, 10 September 2015. Sementara itu, dalam pesan Angelus pada tanggal 17 Maret 2013, Paus Fransiskus mengatakan, "Wajah Allah adalah wajah seorang Bapa Maha Pengampun yang selalu sabar. Allah selalu sabar, sabar pada kita. Dia memahami kita dan selalu menanti kita. Dia tak pernah berhenti mengampuni ketika kita memutuskan kembali kepada-Nya dalam hati yang remuk dan penuh penyesalan."
Memiliki 'pengharapan' pada titik yang paling ekstrem adalah berharap pada segala sesuatu yang tampaknya tidak mungkin. Bagi Paus Fransiskus, 'pengharapan' itu keutamaan yang sulit dipahami orang. Dikatakan dalam homilinya tanggal 29 Oktober 2013, pengharapan bukan sekadar sikap positif pada sesuatu, karena sikap demikian dapat menyesatkan. Misalnya, menaruh kepercayaan berlebihan pada sesuatu, bahkan mencari kenyamanan dan menyandarkan diri pada hal tersebut. Paus Fransiskus menegaskan bahwa pengharapan adalah sebuah anugerah Roh Kudus yang memungkinkan kita berkeyakinan, bahwa Yesus Kristus akan memulihkan dan memperbarui segala sesuatu di dunia ini. Bahwa Dia yang mendirikan Gereja akan terus melakukan mukjizat besar di dalam Gereja-Nya ketika Dia menjadikan segala hal baru; termasuk membarui hidup masing-masing kita."
Itulah paradoks pengharapan, bahwa kita terus berharap pada suatu perubahan, suatu langit dan bumi yang baru, suatu mukjizat perubahan dunia menjadi semakin dekat dengan Allah ketika dunia belum menunjukkan tanda-tanda pertobatan. Itulah kemungkinan dari ketidakmungkinan yang menjadi dasar iman dan pengharapan Kristiani.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |