Menemukan Allah dalam Keluarga
Helena D. Justicia | 14 Feb 2015, 09:00
Dari sudut usia gadis itu masih tergolong remaja ketika menikah. Di desa tempatnya tinggal, selepas SD para remaja biasanya langsung menikah. Banyak faktor yang menyebabkannya, di antaranya budaya dan kemiskinan. Karena masih tergolong remaja, jika ada pertemuan orang muda Katolik (OMK), ia pun datang; pernah dengan perut membuncit saat hamil, atau sembari menggandeng anak tertuanya.
Remaja lainnya, sambil menggendong bayinya, baru saja 'bercerai' dengan suaminya. Usianya masih 16 tahun, punya seorang anak, dan sudah bercerai. Dengan situasi hidup itu, ia datang ke pertemuan OMK, karena di parokinya, pelayanan pastoral yang ada hanyalah untuk OMK.
Di belahan Indonesia yang lain, sebuah kota besar, tantangan hidup berkeluarga wujudnya berbeda. Pergaulan yang luas namun kurang terjaga memunculkan ibu-ibu muda yang terpaksa merawat anaknya seorang diri, tanpa suami. Ada juga 'keluarga' yang lengkap peran ayah-ibu-anak-nya, namun tak ada dokumen resmi pernikahan. Kecanggihan teknologi dan kesibukan kerja memungkinkan hadirnya orang ketiga dalam pernikahan, bahkan juga pernikahan kedua. Mirisnya, gemerlap kota menyisakan orang-orang miskin di pinggiran yang terpaksa melacurkan ibu dalam keluarga, supaya keluarga itu berkecukupan makan. Tak jarang, sang suami-lah yang menjadi mucikari bagi isterinya sendiri. Kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi, bahkan juga kejahatan seperti perkosaan dan pembunuhan.
Realitas pahit tentang hidup berkeluarga itu, masih dapat terus diketemukan seiring dengan kompleksnya kehidupan manusia. Menyadari realitas itu, pertanyaan yang barangkali muncul adalah: bagaimanakah kualitas iman keluarga-keluarga itu? Allah seperti apakah yang mereka imani? Jika kepahitan hidup mereka alami, dapatkah Allah diimani sebagai Allah yang baik hati, pengasih dan penyayang? Lantas apa yang Allah kehendaki dari suatu pernikahan?
Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya. Allah tiada henti melestarikan keberadaannya dalam diri manusia. Secara khusus, Allah menggoreskan panggilan dalam kodrat manusiawi pria & wanita, sekaligus memberikan kemampuan, tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam persekutuan (lih. Familiaris Consortio, 11).
Pernikahan, karenanya, tak dapat hanya dipandang sebagai suatu tahap dalam kehidupan manusia, sebuah sejarah, atau bahkan sebuah 'institusi manusiawi'. Pernikahan adalah suatu persekutuan antara Allah dan umat-Nya. Dalam cara pandang ini, tantangan hidup pernikahan menjadi 'sekadar' sarana untuk semakin kuat bersekutu dengan Allah, bukannya malah menjauh dari diri-Nya, atau justru menjadi alasan untuk mengambil tindakan yang bertentangan dengan rencana dan kehendak-Nya.
Panggilan bagi kita yang turut menjaga penikahan Katolik pun menjadi nyata: memastikan Allah yang adalah kasih itu tetap dialami dalam hidup keluarga, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, saat sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |