Menjalani Panggilan dan Tanggung Jawab Hidup dengan Sukacita

  7 Apr 2012, 11:17

Pengantar: Semua atau sebagian besar dari manusia setiap harinya melakukan aktivitas. Ada yang melakukan secara rutin atau dan ada yang tidak rutin. Masing-masing menyebutnya aneka macam; ada yang menyebutnya pekerjaan, profesi, tugas, tanggung jawab, cita-cita, hobby, atau apapun namanya. Ada pepatah kuno dalam bahasa Latin mengatakan homo laborans atau manusia itu makhluk pekerja. Artinya keberadaan atau eksistensi manusia tidak dapat dilepaskan dari pekerjaan.

Menjalani Panggilan dan Tanggung Jawab Hidup dengan Sukacita

Santo Paulus berkata, "Barang siapa di antara kamu tidak bekerja janganlah ia makan!" Tidak jarang kemudian orang menafsirkan ungkapan ini secara sempit yakni bahwa pekerjaan dilakukan untuk mendatangkan materi uang. Dan dengan uang itulah orang bisa hidup. Di sisi lain selain mendatangkan uang, bekerja juga mendatangkan rasa lelah, letih atau rasa capek. Apakah memang demikian makna dari apa yang kita lakukan atau kerjakan?

Jika pekerjaan hanya "sekedar" mendatangkan uang dan kelelahan sebenarnya ada yang kurang bahkan rugi. Pada hakekatnya, pekerjaan itu bukan hanya berarti sebuah tugas - yang dibebankan / ditugaskan - atau rutinitas. Bagi kita orang Kristiani, yang kita lakukan harus kita maknai lebih dalam dari atau apa yang kita lakukan. Yang kita kerjakan harus mampu mengantarkan kita pada sukacita dan kebahagiaan. Faktanya ternyata tidak selalu demikian. Ada orang yang bekerja dan mengalami kebahagiaan dengan pekerjaannya, namun ternyata tidak jarang ada orang yang merasa lelah dan lesu dalam melaksanakan pekerjaannya, walau ia mendapatkan imbalan materi atau uang. Apa yang sebenarnya menjadikan pekerjaan dapat mendatangkan kebahagiaan? Sebelum menjawab ini terlebih dahulu akan kita sadari kembali beberapa nilai suatu pekerjaan.

Menjalani Panggilan dan Tanggung Jawab Hidup dengan Sukacita

Pekerjaan sebagai Perwujudan IdentitasPekerjaan yang kita lakukan sebenarnya bukan hanya sekedar rutinitas atau tugas, melainkan juga sebagai perwujudan identitas diri kita. Ungkapan Latin manusia adalah makhluk kerja atau homo laborans mengandaikan bahwa keberadaan manusia itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari pekerjaan.

Pekerjaan merupakan bagian integral dari eksistensi atau keberadaan manusia. Bahkan pekerjaan merupakan perwujudan identitas atau jati diri manusia. Justru karena alasan ini maka banyak orang yang tidak mendapat pekerjaan atau berhenti bekerja merasa stress, karena merasa tidak lagi mampu mengekspresikan identitasnya. Di sisi lain kita melihat ada orang yang melakukan pekerjaannya dengan sukacita dan penuh kegembiraan, karena bisa mengekspresikan jati dirinya dalam pekerjaannya. Orang yang mampu mengekspresikan identitas dirinya dalam pekerjaannya juga mampu menjadikan pekerjaan sebagai medan dan sarana perwujudan diri sebagai subyek atau pribadi yang memiliki kehendak dan kebebasan. Orang demikian juga mampu mengungkapkan kreatifitas, imaginasi dan visi hidupnya dalam pekerjaannya. Dan biasanya orang yang demikian juga akan bertanggungjawab atas pekerjaannya. Mengapa?

Karena kalau ia melalaikan kerja berarti ia menodai kualitas dan eksistensi diri sendiri. Maka kalau kita kurang atau tidak bertanggung jawab dalam pekerjaan maka bisa jadi persoalannya bukan di dalam pekerjaan itu sendiri melainkan adanya ketidakberesan dalam memahami jati diri atau identitas kita.

Nilai Sosial KerjaSelain sebagai perwujudan identitas diri, pekerjaan juga memiliki nilai sosial. Artinya bahwa apa yang kita lakukan dapat diterima dan dikonsumsi atau dinikmati oleh orang lain - sosial - atau masyarakat. Dalam arti ini, pekerjaan merupakanbentuk atau ungkapan/ekspresi cinta kita pada sesama.

Kesungguhan dan keseriusan akan pekerjaan kita ternyata memiliki pengaruh pada kebahagiaan orang lain. Konsekuensinya: kalau kita bekerja dengan baik maka sekian banyak orang yang dapat mengalami kebahagiaan karena kerja kita. Sebaliknya kalau orang tidak bekerja dengan baik berarti ia mengurangi kebahagiaan orang lain.

Nilai Iman KerjaBagi kita orang beriman, pekerjaan merupakan bagian integral dari iman kita. Pekerjaan kita merupakan ungkapan rasa terima kasih atau syukur kita pada Tuhan yang telah memberikan kita kemampuan dan kesempatan untuk melakukan yang saat ini bisa kita kerjakan.

Pekerjaan kita merupakan sarana pengungkapan iman, bakti dan cinta kepada Tuhan. Bahkan lebih dalam dari pada itu pekerjaan juga menjadi jalan keselamatan atau dalam arti tertentu menjadi ibadat kita pada Tuhan. Maka konsekuensinya: kalau orang bekerja dengan baik dan sungguh-sungguh atau serius sekaligus mengungkapkan keseriusan dan kesungguhan kita dalam mengimani dan mencintai Tuhan. Sebaliknya kalau kita sembrono dalam pekerjaan kita, berarti mengurangi bakti dan cinta, ungkapan iman atau ibadat kita kepada Tuhan. Ini berarti ia juga tidak peduli terhadap keselamatannya sendiri.

Bekerja dengan Sukacita dan Bahagia: Setiap orang siapapun dia tentunya mendambakan sukacita dan kebahagiaan dalam hidupnya, termasuk ketika orang melakukan pekerjaannya. Maka pentinglah orang bisa menikmati kerja karena dengan begitu akan dapat menemukan sukacita dan bahagia dalam pekerjaan atau yang dilakukan. Kita hanya mungkin atau bisa bekerja dengan sukacita dan bahagia tatkala kita menemukan nilai-nilai yang kita yakini dalam pekerjaan. Sebelum kita menemukan nilai-nilai itu, kita tidak mungkin dapat merasakan kebahagiaan dan sukacita dalam arti yanag sebenarnya.

Untuk dapat mengalami sukacita dan kebahagiaan dalam pekerjaan syarat mutlaknya adalah orang harus menemukan nilai-nilai dalam pekerjaanya. Orang yang mampu menemukan nilai-nilai dalam pekerjaannya adalah orang yang matang dan dewasa.

Untuk dapat menjadi pribadi yang matang dan dewasa dalam pekerjaan kita harus berani mengubah paradigma atau sudut pandang yang salah satu keliru. Untuk itu kita harus terus-menerus terbuka dan memiliki kemauan untuk dididik dan didewasakan serta diubah oleh Allah sendiri. Ada sekurang-kurangnya lima paradigma yang seringkali menghambat kita dalam mewujudkan kedewasaan diri:

1. Kemarahan, Kebencian atau Dendam: yakni tatkala kita merasa orang lain melukai diri kita di masa lalu. Orang yang demikian biasanya juga terlalu mudah atau tidak mampu mengendalikan dirinya. Dan ini tentunya juga mempengaruhi pekerjaannya. Kalau kita mau realistis sebenarnya kita tidak bisa mengubah apa yang pernah terjadi dalam sejarah hidup kita. Karena apa yang terjadi adalah fakta yang sudah terjadi dan kita tidak mungkin bisa mengubah atau memundurkan waktu. Kemarahan, kebencian atau dendam itu seperti kuman atau virus yang membuat luka yang pernah terjadi itu tidak sembuh-sembuh dan malahan tambah parah. Untuk itu kita harus berani mengubah paradigma hidup kita dan membuang semua rasa itu dengan cara:• Pertama kita harus belajar menerima peristiwa itu memang pernah terjadi dalam hidup kita. Berusaha menutupi dan melupakan peristiwa itu tidak mungkin dan akan sia-sia bahkan tidak ada gunanya. Karena peristiwa itu terekam dalam memori otak kita. Kita hanya bisa melupakan peristiwa kalau kita kehilangan memori kita, karena peristiwa itu telah terekam dalam memori otak kita.• Kedua kita harus belajar mengampuni pribadi yang telah melukai kita. Memelihara rasa kemarahan, kebencian atau dendam yang berkepanjangan itu seperti memberikan atau membiarkan virus atau yang ada dalam luka yang akan membuat luka semakin lebar dan semakin parah. Sebaliknya pengampunan itu seperti antibiotik dalam luka. Mungkin awalnya terasa pedih seperti antibiotik yang mengenai luka di tubuh kita. Namun justru kepedihan antibiotik itulah yang membuat luka kita menjadi sembuh. Bekasnya bisa jadi masih kelihatan, tetapi sudah tidak terasa sakit lagi, demikian luka hati yang sudah sembuh tidak membuat kita terpengaruh walau diingatkan akan peristiwa itu lagi.• Ketiga setiap peristiwa adalah pembelajaran dalam hidup kita. Termasuk peristiwa kita terluka merupakan pembelajaran bagi kita. Pembelajaran ini akan membuat kita mampu menemukan nilai atau makna dari luka karena peristiwa yang pernah terjadi.

2. Rasa takut karena pengalaman traumatis:Masa lalu kita seringkali tidak semuanya berjalan mulus. Traumatis bisa terjadi karena kita merasa tidak nyaman dengan peristiwa tertentu. Maka kalau kita berhadapan dengan peristiwa atau hal-hal serupa atau berkaitan, kita merasa was-was atau takut, gamang. Bahkan seringkali kita bertindak tidak rasional.

Contoh orang yang takut akan siput, ketika ia melihat siput ia berlari sekencang-kencangnya puluhan atau ratusan meter sampai ngos-ngosan bahkan terjatuh dan babak belur. Padahal siput tersebut berjalan dengan kecepatan perjamnya hanya sekitar dua atau tiga meter saja. Traumatis menyebabkan kita tidak mampu lagi berpikir secara rasional. Pikiran yang tidak rasional akan menghambat penalaran kita. Ketika penalaran kita terhambat maka kita juga tidak akan mampu bekerja dengan lebih baik.

3. Materialistik:Ada orang yang mengukur segala sesuatu dari sisi materi saja. Termasuk dalam menghargai orang dititik tolakkan pada seberapa besar materi atau kekayaan yang dimilikinya. Padahal kita tahu banyak hal tidak mungkin diukur secara materialnya saja. Sudut pandang yang terbatas secara materialistis saja akan menutup orang melihat makna yang lebih dalam akan banyak hal, termasuk dalam pekerjaan. Orang yang demikian juga tidak mungkin menemukan kebahagiaan apabila materi yang dihasilkannya kurang atau tidak sesuai dengan yang ditargetkan. Padahal ada sekian banyak pekerjaan yang tidak menampakkan hasilnya secara materiil.

4. Kebutuhan akan pengakuan yang berlebihan:Faktor lain penghambat kedewasaan pribadi adalah hausnya orang akan kebutuhan pengakuan diri yang berlebihan. Segala sesua tu yang dilakukan sebatas untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Biasanya orang yang demikian juga tidak mampu bekerja dengan baik tatkala tidak ada orang yang mengakuinya. Atau orang demikian juga tidak mampu menemukan kegembiraan dan sukacita apalagi kedamaian karena tidak ada orang yang memujinya. Pengakuan diri itu diberikan bukan dicari apalagi dicari-cari. Jika kita mampu berbuat yang terbaik pengakuan akan datang dengan sendirinya. Padahal hakekat dan nilai yang kita lakukan letaknya bukan pada pengakuan orang lain atas apa yang kita lakukan, melainkan sejauhmana kita serius dan melakukan dengan penuh cinta.

5. Rasa bersalah atau Penyesalan yang berlebihan:Faktor berikut yang seringkali juga menjadi penghambat dalam mewujudkan kedewasaan diri yakni adanya perasaan bersalah atau penyesalan yang berlebihan. Rasa bersalah atau Penyesalan yang berlebihan akan membuat kita merasa ketakutan, ragu-ragu untuk berkreativitas dan melakukan inovasi dalam hidup.

Jangan-jangan nanti kita gagal lagi. Jika ini menjadi paradigma, kita akan menghambat kedewasaan dan kematangan diri. Akibatnya orang juga tidak memiliki inisiatif atau kreativitas dan tidak berkembang. Faktor-faktor penghambat kedewasaan diri di atas seringkali juga berdampak atau memiliki akibat dalam seluruh diri kita baik secara fisik, psikologis dan kejiwaan kita misalnya:• Ketidaknyamanan fisik; sakit kepala, mual, sakit kulit, mudah pilek.• Secara emosional: mudah tersinggung, cemas, rendah diri, was-was, merasa bersalah, curiga, tertekan, mudah marah, frustasi,• Dampak lain: orang membatasi pergaulan, mudah menghakimi, hanya mencari aman, tidak jujur, tidak nyaman.

Penutup: Maka kalau kita ingin mengalami sukacita dan kebahagiaan dalam pekerjaan kita ada beberapa hal yang harus kita pikirkan ulang, bahkan kita berani mengubah paradigma hidup kita yang salah.Pertama kita harus mampu menemukan nilai dari pekerjaan kita yakni sebagai perwujudan identitas diri, ungkapan kasih kepada sesama dan ungkapan cinta dan bakti kita pada Tuhan.Kedua kita harus memiliki keberanian untuk mengubah paradigma kita yang keliru dan salah agar mencapai kematangan dan kedewasaan pribadi kita. Kita harus mampu menerima seluruh fakta yang pernah terjadi dalam hidup kita dan memiliki kerendahan hati dan keberanian mengampuni pribadi-pribadi yang kita pandang bersalah atau melukai diri kita. Hanya dengan cara itu luka dalam diri kita akan sembuh.Selanjutnya kita belajar berpikir dan menilai positip akan diri, sesama, dan pekerjaan. Konon ada kalau bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali, ternyata berpikir positip sama dengan berdoa tiga kali. Selain tidak membuang energi dengan berbagai kecurigaan dan pikiran negatif akan orang lain, berpikir positif juga memudahkan mewujudkan persaudaraan dengan sesama. Persaudaraan yang terbangun akan membangun komunitas yang semakin memaknai pekerjaan atau yangkita lakukan.

Semoga kita menemukan dan mengalami kebahagiaan dalam pekerjaan atau apa yang kita lakukan.

Romo Heribertus Supriyadi O. Carm

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi