Kalau Rakyat Dianggap Bukan Data Statistik
Ign. Sunito | 2 Nov 2014, 10:21
Kapal keruk taline kenceng/Punya presiden nggak usah ganteng.
Wong meteng manak kembar/Percuma ganteng malah ambyar (berantakan)
Batara Kresna nggiring setan ke neraka/Kurawa Astina merayu janda
Setelah tentara berkuasa, tukang kayu naik tangga.........
(Butet Kertarajasa)
Semua lautan manusia di Monas tanggal 20 Oktober 2014 lalu ketawa ngakak mendengar parodi si Raja Monolog dari Yogyakarta, dalam rangkaian Pesta Syukuran Rakyat "Salam 3 Jari" menyambut presiden baru JKW. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia belum pernah ada lautan manusia terbesar mengumpul menjadi "satu" di suatu tempat, malahan berbagai tempat dari titik awal di bunderan HI s/d diLapangan Monas. Saingan terdekatnya adalah konser "Salam 2 Jari" di Stadion Utama Senayan. Tujuannya sama mendukung JKW/JK untuk merebut RI-1/2.
Seniman adalah bagian dari rakyat yang biasanya acuh tak acuh mengenai dunia politik. Ketika melihat panggung politik penuh badut-badut politik yang hanya memandang rakyat hanya cerminan dari data statistik. Rakyat hanya diwujudkan dalam secarik kertas ritual lima tahunan. Maka rakyat merindukan orang atau institusi yang mampu melakukan humanisasi terhadap rakyat. Orang Jawa begitu akrab dengan tradisi nguwongke memanusiakan manusia. Rakyat itu dimanusiakan lagi, dianggap ada, kemudian suara dan aspirasi mereka di dengar. Maka Konser Salam 3 Jari ini sebuah transformasi menjadi kekuatan untuk mendukung niat JKW dengan bekerja, bekerja, dan bekerja. Ia berubah menjadi ekspresi kebersamaan, jika menemukan titik simpul yang tepat. Itulah fenomena Konser Rakyat 20 Oktober 2014. Siapa yang tidak merinding dan haru melihat kebersamaan ekspresi itu?
Budayawan Radar Panca Dahana melukiskan JKW berhasil menyentuh psikokultural rakyat, yang bisa disentuh dan dihadirkan dengan kehadiran yang nyata. Blusukan! Orang harus bertemu untuk merasakan getaran, bukan hanya membuat dan membanding-bandingkan data statistik di belakang meja saja. Maka tak heran jika ratusan seniman dari berbagai kalangan, sampai jauh-jauh datang dari Inggris, Band Arkana, datang ke Monas dengan biaya sendiri. Bukan itu saja setiap dari mereka melantunkan lagu yang sekiranya menyuarakan jeritan hati rakyat, spontan suara membahana mengikutinya. Musik menjadi medium yang efektif untuk mencurahkan aspirasi politik. Arena Monas waktu itu adalah cerminan pemimpin dan rakyat terhubung secara kuat dalam pentas musik. Ini suatu bukti bahwa ketika aspirasi politik tersendat, musik menjembataninya tanpa pembatas birokrasi.
KEPEKAAN SOSIAL
Menyambut era baru Indonesia, khususnya buat kita kaum minoritas yang selama ini selalu berkutat seperti lagunya Slank "Where are you Mr. President?" ketika mendapat perlakuan tak manusiawi dari kelompok-kelompok radikal, terutama ormas agama yang selalu bikin onar. Sepertinya kita tidak mempunyai presiden? Lagu itu meski oleh Slank ditujukan atau mempertanyakan kehadiran Negara ketika rakyat negeri ini sedang gundah oleh berbagai peristiwa, terutama usaha pengkerdilan KPK (tokoh-tokohnya kini masih bercokol di DPR Senayan 2014-2019). Sangat mewakili kita. Buktinya para penghasut dan provokator kalau tidak bebas hukum, juga hukuman ringan sebagai syarat formalitas belaka. Jadi jangan sampai kita mengulang-ulang terus lagu "Where are you Mr. President?"
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |