Pancasila Di Zaman Digital

  2 Jun 2013, 16:38

Ingat almarhum Harry Rusli? Seniman serba bisa dari Bandung ini terpaksa berurusan dengan polisi karena sewaktu mengisi acara HUTnya Gus Dur, Ia menyanyikan Garuda Pancasila, "Pancasila dasar Negara. Rakyat adil makmur katanya. Pribadi bangsaku, Tidak maju, maju. Tidak maju, maju. Tidak maju, maju!"

Anak-anak kecil di kampung saya, Solo, pada fasih menyanyikan Garuda Pancasila a la Jawa. Garuda Panca Pencit. Aku ora duwe doeit. Doeitku mung seringgit. Sing golek nganti kecerit. (Garuda Panca Pencit. Aku nggak punya duit. Duitku hanya seringgit. Kuperoleh sampai mencret).

Ketika penulis tanya siapa yang "ngarang"? mereka pada bilang, simbahnya. Ternyata embahnya adalah teman semasa kecil penulis.

Katakanlah ini contoh "lebay" ? Tapi ini cerminan dari rasa "frustrasi" tentang nasib Pancasila di era digital ini. Inti dari Pancasila itu adalah kehidupan gotong royong, dan harusnya menjadi way of life semua dari kita.

Contoh kecil lagi. Di rumah penulis ada dua pembantu wanita umur 16-17 tahun, datang dengan modal nol besar, diajari isteri dengan sabar. Hasilnya setelah satu tahun, yang satu cepat "pinter" tetapi yang satu minta ampun. Yang pinter menindas temannya dan semua berlaku pragmatis, tak mau mengerjakan pekerjaan yang bukan jobnya. Padahal mereka itu berasal dari satu kampung. Gotong royong, EGP emang gue pikirin! Di tingkat elit banyak contoh seabreg-abreg.

Kita berasumsi bahwa semua sudah kenal Pancasila, yang banyak Negara ingin mempelajarinya untuk praktik penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Di era digital ini di tengah semua kegiatan apapun bisa dikerjakan secara digital tanpa sentuhan relasi dan komunikasi, face to face, Pancasila hanya dimengerti sebagai dasar Negara. Titik! Negara dilihat hanya sebagai bangunan statis dengan dilandasi fondasi Pancasila. Prof.Dr. Driyarkara memandang Negara sebagai entitas politik yang dinamis, bagian dari aktivitas manusia dalam menegara. Negara Indonesia harus bergerak bersama Pancasila. Dalam perspektif menegara, kokoh tidaknya bangunan Indonesia bergantung pada seberapa jauh Pancsila menjadi ideologi yang hidup, terinternalisasi dalam perilaku penyelenggara Negara dan warganya. Begitulah Pancasila merupakan imperatif kategori (norma) menegara. Saat Pancasila gonjang-ganjing dan memakan korban hanya diselesaikan dengan diskusi-diskusi di berbagai forum. Sudah itu lupa! Masalah selesai? TIDAK.

Problem serius kita adalah mati surinya ideologi Negara. Pancasila su-dah diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku politik. Ketika penyelenggara Negara tidak Pancasilais, maka rakyatlah yang menjadi korban pertama. Terutama korban kekerasan agama. Jelas Negara tidak berpihak kepada Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Menjadi Pancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan aga-ma. Pancasila bukan agama meski juga tidak bertentangan. Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa besar bukan karena agamanya. Negara yang dicap Atheis ternyata juga bisa membawa kemakmuran bangsanya.

Di era digital ini tercipta pasar bebas di mana warga lebih tertarik pada "ideologi" lain seperti hedonisme, materialisme, pragmatisme dan targetisme. Semua memasang target harus cepat kaya. Kasihan kaum yang "doeitnya mung seringgit. Sing golek nganti kecerit " ha,ha,ha.......Jangan lapor polisi, lho!

(Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi