Sekitar Peti Jenazah

  6 May 2017, 13:54

Pada 22 Oktober 2016, Seksi Pangrutilaya berkolaborasi dengan Seksi Katekese, Seksi Kerasulan Kitab Suci, Seksi Komsos, Sub Seksi Prodiakon, menyelenggarakan Seminar di Auditorium MBK, yang salah satunya adalah mengenai memandikan jenazah. Seminar 27 Mei 2017 mendatang adalah salah satu sesi akan melanjutkan membahas materi mengenai dekorasi sekitar peti dan meja, dan mengulas mengenai hal-hal mengenai Pemakaman Katolik.

Aturan mengenai pemakaman gerejawi ada di Kitab Hukum Kanonik (KHK), tepatnya di Kanon 1176-1185. Disebutkan bahwa, 'Umat beriman kristiani yang telah meninggal dunia harus diberi pemakaman gerejawi menurut norma hukum' (Kan. 1176 §1). Lebih lanjut, diatur juga bahwa, 'Pemakaman bagi setiap orang beriman yang telah meninggal dunia harus dirayakan pada umumnya dalam gereja parokinya sendiri' (Kan. 1177 §1). Aturan ini selaras dengan pemikiran bahwa, saat ada anggotanya yang meninggal, Gereja, dalam hal ini kelompok umat beriman yang tergabung dalam suatu paroki, turut berduka dan mendoakan yang meninggal, dan turut serta memberikan penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan. Akhirnya, Kanon 1181 mengatur, '... namun hendaknya diusahakan agar dalam pemakaman jangan ada pandang bulu dan orang-orang miskin jangan sampai tidak diberi pemakaman yang semestinya'.

Dari paragraf tersebut jelas bahwa pemakaman gerejawi adalah untuk umat beriman Kristiani, tanpa pandang bulu. Berikutnya, apa yang dimaksud dengan 'pemakaman gerejawi'? Pasca Konsili Vatikan II, atau tepatnya tanggal 15 Agustus 1969, Gereja mengeluarkan dokumen Ordo Exsequiarum atau Tata Perayaan Pemakaman. Ini adalah edisi tipikal yang dijadikan acuan oleh Gereja Katolik Ritus Romawi di seluruh dunia. Berdasarkan edisi tipikal dalam Bahasa Latin itu, KWI mengeluarkan Buku Upacara Pemakaman (UP), yang telah diterbitkan dan terakhir direvisi pada bulan Desember 2012.

Dalam Ordo Exsequiarum 1969 ditawarkan tiga model pemakaman gerejawi. Model pertama mengacu pada Ritual Romawi tradisional, di mana ritus terpenting (Misa Arwah) dilaksanakan di gereja (dengan jenazah) dan didukung dengan ritus-ritus lain di rumah serta kuburan atau krematorium. Model kedua merupakan praktik yang berlaku di beberapa bagian Eropa, di mana ritus-ritus terpenting dirayakan di kuburan dan Misa Arwah dilaksanakan kemudian di gereja (tanpa jenazah). Yang terakhir adalah model ketiga, di mana ritus-ritus terpenting dilaksanakan di rumah duka. Model terakhir ini dipakai di beberapa bagian di Afrika.

Dari sudut pandang teologis-liturgis: 'Kurban ekaristis Paskah Kristus dipersembahkan oleh Gereja bagi para arwah. Sebab semua anggota dalam Tubuh Kristus merupakan persekutuan, sehingga dengan demikian yang sudah mati pun menerima pertolongan rohani, sedangkan yang masih hidup dihibur dengan harapan' (PUMR 379). 'Gereja merayakan upacara-upacara liturgi untuk orang mati, supaya hubungan antara kematian orang beriman dan misteri Paskah Kristus tampak dengan jelas. Terutama dalam Perayaan Ekaristi misteri Paskah Kristus dihadirkan di tengah-tengah umat. Maka sangat tepat untuk merayakan Misa dalam rangka pemakaman orang-orang beriman..." (UP 2). Lagi, 'Misa arwah yang terpenting ialah yang dirayakan pada hari pemakaman..' (PUMR 380). Berikutnya, 'Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus khusus kebutuhan menuntut lain... Kurban Ekaristi haruslah dilaksanakan di atas altar yang sudah didedikasikan atau diberkati...' (Kan 932). Gereja memang mengajarkan agar kita menghadirkan Kristus dengan sungguh hormat, di altar yang sudah diurapi, dan bukan di sembarang meja yang diberi taplak putih, kecuali bila memang keadaan memaksa lain.

Masalah ketersediaan imam: Uskup atau imam adalah gembala kawanannya. Tentu sangatlah tepat bila gembala hadir saat kawanannya berduka. Meski begitu, kita sungguh maklum bahwa banyak tempat di Indonesia saat ini masih sangat kekurangan imam. Dalam kasus ini, bila tidak ada imam atau diakon, berbagai ritual di rumah duka sebenarnya dapat dipimpin oleh awam (prodiakon). Prodiakon dapat memimpin ritual merawat jenazah dan memasukkan ke dalam peti (bdk. UP 18), memimpin ibadat sabda, termasuk tirakatan pada malam menjelang hari pemakaman (bdk. UP 22), dan memimpin ritual pemberangkatan ke gereja untuk Misa Arwah (bdk. UP 30). Usai Misa Arwah, Prodiakon dapat memimpin perarakan atau pemberangkatan ke kuburan atau krematorium (Bdk. UP 56), juga upacara di kuburan atau krematorium (bdk. UP 59, 69). Prodiakon yang memimpin berbagai ritual kematian boleh memerciki jenazah, peti, dan liang kubur dengan air suci dan mendupainya (bdk. UP 20, 63). Pemercikan dengan air suci dan pendupaan memang bukan melulu wewenang imam atau diakon. Seluruh umat yang hadir pun bila perlu dapat dipersilakan memerciki jenazah dan liang kubur dengan air suci (bdk. UP 65). Hal pendupaan, dalam misa yang menggunakan dupa, umat kan didupai oleh misdinar, bukan oleh imam? Jadi, dalam situasi kekurangan imam, kita tidak perlu khawatir akan keselamatan jiwa yang wafat. Satu saja yang mutlak harus dipimpin oleh imam: Misa Arwah.

Selanjutnya, mengenai ketentuan Misa Arwah di PUMR 379-385; letakkan peti jenazah sesuai tradisi, yaitu kalau yang meninggal seorang awam, kepalanya menghadap altar (kaki dekat altar, kepala dekat umat), kalau ia seorang uskup, imam, atau diakon, kepalanya menghadap umat; di atas peti jenazah dapat ditaruh Evangeliarium, Kitab Suci, atau salib; di dekat peti dapat dipasang beberapa lilin bernyala; sebaiknya di dekat kepala jenazah ditempatkan Lilin Paskah; selama upacara ini peti boleh terbuka (Bdk. UP 39); warna liturgi adalah ungu, hitam, atau putih (Bdk. UP 38); kalau ordinarium dinyanyikan, gunakan Ordinarium Misa Arwah (PS 344 dst. atau MB 579 dst.); Kemuliaan tidak diucapkan, Syahadat diucapkan (Bdk. UP 47); lagu-lagu tradisional untuk Misa Arwah dapat ditemukan di PS 708 dst. atau MB 578 dst.

Sebagai penutup, kita lahir dibawa ke gereja untuk dibaptis, mati juga hendaknya dibawa ke gereja, untuk menerima pertolongan rohani dari Ekaristi di dunia yang terakhir kalinya, sebelum boleh ikut serta dalam perjamuan abadi di surga.

Disarikan dari tulisan Albert Wibisono (Keuskupan Surabaya)

Lihat Juga:

Seputar MBK (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi