Ikan Sepat Ikan Gabus, Lebih Cepat Lebih Bagus!
31 Dec 2010, 14:20
Ikan gabus ikan sepat, bukan ikan lele... demikian Romo Eddy S Pr, mengakhiri kotbahnya pada misa penutupan Rapat Kerja Dewan Paroki Pleno Paroki Tomang dengan sebaris pantun. Dalam misa itu, Romo Eddy berkotbah tentang perubahan sikap yang perlu diambil oleh para pengurus lingkungan untuk memajukan peran aktif umat di lingkungan masing-masing.
Romo memberi ilustrasi dialog antara seorang sufi dengan seekor tikus. Dalam dialog itu, sufi mencoba memberi bantuan kepada tikus untuk mengatasi ketakutan. Namun, ketika si tikus sudah diubah menjadi kucing, anjing, bahkan seekor singa, ternyata sikap mental tikus tetap, yakni tetap bermental pecundang. Suatu perubahan yang tidak menyentuh aspek mental.
Dengan ilustrasi ini Romo Eddy mengharapkan pengurus lingkungan mau dan mampu memperbaiki semangat pelayanan dengan menerapkan prinsip pastoral gembala baik dan melandasinya dengan IMAN, DOA, PELAYANAN, serta menggunakan BASIS DATA untuk menunjang pelayanan. Data diperlukan agar pengurus (Gereja) dapat memberikan pelayanan terbaik terhadap umat. Dengan data, pengurus lingkungandapat mengetahui kondisi riil kebutuhan umatnya. Bukan sekedar kebiasaan atau bahkan hanya asumsi semata.
Romo Eddy mengemas kotbahnya dengan sangat jelas, mudah dimengerti, dan tentunya singkat. Kotbah singkat ini mengingatkan saya kepada apa yang menjadi fokus utama kursus homiletika yang diselenggarakan oleh Seksi Katekese Paroki MBK. Selama beberapa minggu belakangan ini setiap hari Kamis malam mulai pukul 7 malam sejumlah umat mengikuti pelatihan untuk memberikan RENUNGAN berdasarkan isi Kitab Suci. Kata renungan digunakan dan bukannya kotbah atau homile karena homile merupakan hak seorang pastur.
Dalam pelatihan memberi renungan ini ditekankan bahwa setiap umat mempunyai kemampuan untuk memberikan renungan karena renu-ngan itu merupakan hasil permenungan hati seseorang akan isi kitab suci. Lalu mengapa tidak semua orang bisa memberikan sebuah renungan? Ya, sekali lagi itu bukanlah karena ketidakmampuan seseorang, tetapi lebih karena tidak adanya kemauan.
Tidak ada kemauan berarti sebuah sikap yang sudah terbangun di dalam diri seseorang bahwa ia tidak mampu, merasa tidak pintar, merasa ada orang lain yang lebih pintar. Sikap yang oleh Romo Eddy diilustrasikan dengan sikap tikus yang cuma bisa ndepisis di pojok ruangan. (ndepisis = bersembunyi)
Menyampaikan sebuah renungan itu susah dan tidak gampang. Memang! Untuk itu diperlukan latihan-latihan. Maka, sebuah apresiasi perlu disampaikan kepada Seksi Katekese MBK yang berani dan mau membuat sebuah kegiatan kursus Homiletika. Betapa sulitnya menjadi seorang yang menyampaikan renungan tergambar dengan penampilan para peserta kursus dalam praktek. Menurut Stefan Leks, penampilan para peserta masih terkesan kacau balau. Sebuah penilaian yang sangat tajam tentunya.
Tetapi, para peserta terlihat tidak berkecil hati atas penilaian itu. Pokoknya, biarlah penilaian itu menjadi dorongan untuk menjadi kuat dan maju. Harus berani membangun sikap positif. Siapa tahu, para peserta menjadi seorang pengkotbah yang handal, untuk dikemudian hari menggantikan Stefan Leks!
Yang jelas, renungan yang baik adalah yang menghadirkan Yesus sendiri, dan jangan lupa: ikan sepat ikan gabus, bukan ikan lele dumbo. Lebih cepat, lebih bagus, jangan bertele-tele, BO!
(Vic Sugiyanto - Lingkungan St. Antonius 4)
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |