Jangan Ada Dusta Di Antara Kita

  1 Aug 2012, 15:32

Ini nyanyian almarhum Broery Marantika duet dengan Dewi Yul tentang kisah percintaan dua sejoli. Setiap memutar kembali rekaman ini, suara Broery yang mendayu-dayu, bukan saja mengingatkan masa penulis pacaran dulu tetapi judul lagu ini juga penulis bawa dalam hidup bermasyarakat. Apalagi dalam setiap Misa sesudah doa Bapa Kami, umat saling berjabatan tangan dengan menyanyikan Salam Damai. Setiap kali penulis berjabatan tangan dengan umat sebelah menyebelah, muka belakang, dalam hati penulis berkata "jangan ada dusta di antara kita"

Kehidupan ini disesaki oleh sekat-sekat yang dibuat oleh manusia terutama pada masing-masing individu. Dari mulai keluarga sampai berbangsa dan bernegara. Coba kita lihat suasana Pilkada DKI yang baru lalu. Agresivitas dan libido kekuasaan terlihat "menggila" seperti yang kita tonton melalui layar kaca yang diperlihatkan oleh para pendukung calon. Bahkan salah satu calon mengeluarkan kata-kata, "Saya sekarang lagi alergi kepada baju kotak-kotak." Bahkan menjelang putaran kedua ini, ketua tim sukses salah satu calon dengan mimik penuh permusuhan seperti ingin "membunuh" menantang adu kuat, adu strategi. Heran! Seperti Jakarta ini milik mbahnya, nenek moyangnya sendiri.

Umat Kristiani membawa damai Kristus agar tidak ada sekat-sekat, apalagi sekat permusuhan di antara kita. Sekat-sekat yang kita bangun, kalau itu ada? Selamanya akan memenjarakan kita sendiri, membawa kebencian kemana-mana. Kebencian itu bak kolam tak bertepi dan kita seperti berenang-renang di dalamnya, capek sendiri dan ingin menepi tetapi mana tepiannya? Kebetulan penulis berasal dari Jawa, di sana ada kearifan lokal menjelang Puasa selalu ada ritual PADUSAN. Mandi ramai-ramai di sendang, sungai, mata air, dan seterusnya, sebuah ritual bersih-bersih diri, mensucikan diri dari segala dosa untuk menjalankan ibadah puasa.

PADUSAN itu rohnya adalah cinta, pemaafan, dan kerukunan, di mana kearifan lokal yang sudah turun temurun ini mampu menjiwai mereka yang melaksanakannya, melewati batas-batas agama dan kepercayaan. Ritual yang diikuti oleh ribuan orang secara bersama-sama di suatu tempat ini mampu "mencairkan" sekat-sekat yang terbangun. Setiap Padusan penulis terkenang kembali lagunya Broery itu, sekaligus kerinduan untuk pulang kampung dan nostalgia masa kecil. Ambyur-ambyuran main air di sendang bersama teman-teman.

Dalam suasana amburadulnya Negara ini, terutama iklim intoleransi yang kita rasakan, penulis punya imajinasi. Toleransi itu harus dikondisikan secara politis. Sikap toleran yang sudah ada pada ranah kultural harus diangkat ke ranah politis dalam bentuk sistem hak-hak warga yang dijamin oleh Negara.

Kalau pemerintah gagal menjamin hak-hak publik, justru dapat merusak toleransi kultural pada lapisan akar rumput. Dan hal ini yang terjadi. Padahal semua pihak ingin diperlakukan toleran.

(Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Renungan (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi