Mengapa Manusia Memilih "Kegelapan"

  26 Aug 2010, 18:15

Ketika jagad Indonesia diramaikan dengan penangkapan teroris dengan menembak mati para tokoh dan pelakunya oleh pihak keamanan. Kembali kita disuguhi berita yang riuh rendah, semua nara sumber mengemukakan pendapatnya, dari yang bisa mencerahkan maupun malah membodohi. Apalagi pasca peristiwa dengan penguburan tokohnya di daerah asalnya, Pemalang, Jateng, persis seperti peristiwa sebelumnya. Disambut bak pahlawan oleh para simpatisannya dan hal itu diliput secara eksklusif oleh media TV. Semua tontonan itu mempunyai imbas yang berbeda. Bagi mereka yang cerdas bisa membedakan antara perjuangan "suci" yang dilandasi keyakinan agama dengan tindakan teror. Namun bagi mereka khususnya yang sudah termakan suatu ideologi radikalis, menjadi bertambah makna bahwa perjuangan mereka seperti dalam "arah yang benar".

Mengapa Manusia Memilih "Kegelapan"

Ketika teror datang dari arah manapun terlebih-lebih membawa legitimasi agama. Sepertinya kalau dalam kepercayaan Kristiani "Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang." (Yoh 3: 19). Para pakar mengatakan dan kalau kita renungkan adalah implementasi dari pada ayat itu. Yaitu terorisme adalah bentuk nihilisme dengan ciri matinya kebebasan, dominasi sebuah kekerasan, dan pemikiran yang diperbudak. Terorisme tidak cukup dipahami dengan logika keamanan, tetapi perlu ditempatkan sebagai bentuk pengingkaran atas martabat maupun lestarinya kehidupan. Terlebih mengemas aksi kekerasan dalam selubung agama, bungkus religi untuk menarik simpati guna mendapatkan justifikasi (pembenaran). Membela ajaran agama? Bagi manusia waras konteks agama hanya dijadikan sebuah instrumen kekerasan, memperlakukan sesama manusia bukan sebagai manusia (nguwongke) namun hanya sebuah sarana. Manusia diposisikan sebagai perkakas atau barang yang dapat digilas oleh tindakan kekerasan.

Parapakar yang "abu-abu" terhadap teroris menggebu menulis di media. Bahwa terorisme itu akibat buntu komunikasi. Kalau demikian kita juga bisa berdalih teroris melakukan komunikasi dengan cara penghancuran. Berarti makin menegaskan bahwa mereka adalah penghuni sisi gelap komunikasi. Bagaimana harus dipuji? Kecuali merayakan kekerasan itu sendiri. Bentuk teror tidak saja dalam bentuk bom atau pembunuhan sesama, tetapi juga untuk perusakan dan pembakaran rumah-rumah ibadah. Penganiayaan terhadap pelaku agama/kepercayaan. Kemudian adanya perda-perda (peraturan daerah) yang bersifat diskriminatif. Sampai dengan perikehidupan bermasyarakat secara umum. Di mana yang merasa kuat meneror yang lemah. Termasuk dalam kehidupan rumah tangga, KDRT, sampai dengan hak-hak pekerja rumah tangga yang harus dihormati. Sudahkah kita masing-masing berperilaku "dalam terang"?

Maka kalau kita berbicara teror, jangan terlalu muluk dulu. Di sekitar kita ternyata terorisme berkeliaran. Disadari atau tidak disadari.

(IG. Sunito)

Lihat Juga:

Renungan (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi