Mengisi Kemerdekaan Dengan Tanggungjawab

  15 Aug 2013, 10:05

Setiap kali menjelang 17 Agustus HUT Proklamasi kemerdekaan dan setiap kali melewati bagian depan Istana Merdeka, selalu terkenang pada periode 1960an. Bukan saja rakyat berbondong-bondong datang ke depan Istana untuk men­dengarkan pidato Presiden Soekarno. Juga masih terbayang jelas kompleks Lapangan Merdeka dengan segala ba-ngunan di sekitarnya. jalan raya dalam tertib berlalu lintas. Tak ada rasa untuk saling "berkuasa" bahwa jalan ini seolah "milik kita sendiri".

Semangat proklamasi kemerdekaan sebagai maklumat lahirnya kekitaan bernama bangsa-negara Indonesia menuntut kesadaran bahwa yang bernama Indonesia ini merupakan sebuah ruang publik. Atau ruang sosial yang dibentuk lewat komunikasi dan interaksi sosial begitu terasa. Penulis rasakan meski waktu itu masih beru­mur remaja. Demikian juga dengan teman-teman penulis, baik di kam­pung maupun di sekolah. Meski juga Jakarta sudah menjadi kota metro­politan. Ini mungkin, karena pelajaran sejarah atau semangat nasionalisme di mana Irian Barat (kini Papua) masih dijajah Belanda.

Lamunan segera tersentak karena ada taxi memotong laju mobil tepat di depan Istana. Belum lagi mele­wati jalanan macet sepanjang jalan di Jakarta. Wuah! Rasanya kini, kok, nggak ada perasaan kekitaan sudah merdeka 68 tahun malah menjadi bangsa yang panik. Sumber daya alam semakin menipis. Bentrokan antar kelompok, bahkan antar kampung di mana-mana. Warga malah terusir dari kampung halamannya sendiri (Jemaat Syiah di Madura).

Lalu timbul sederetan pertanyaan: Apakah Negara ini nyaris gagal? Kebangkrutan kesalehan sosial? Benarkan kita ini bangsa yang ber­budaya tinggi? Negara tanpa kepe­mimpinan? Agama lebih mulia dari pada Tuhan? Defisit kemanusiaan? Bersatu itu utopia? Republik kita atau Republik mereka? Negara eksperimen demokrasi? Negara tanpa imajinasi? Sekumpulan warga berwatak budak? Ya, jadinya korupsi merejalela. Inilah sejumlah pertanyaan yang timbul jika kita mengamati kondisi yang namanya Indonesia saat ini. Ujungnya adalah hidup ini adalah untuk men­jadi manusia bukan hanya sekedar sebagai manusia.

Dari sudut pandang kemajemukan sebagai bangsa yang juga menjalankan ibadah kepercayaan masing-masing saja terus diambang kekhawati­ran. Setiap hari Natal, Gereja harus mendapat pengawalan keamanan istimewa. Takut dirusak oleh sesa­ma bangsa sendiri. Sebagai orang Indonesia bisakah mempunyai peker­jaan, membesarkan dan menyeko­lahkan anak dan sakit bisa berobat? Jujur saja Indonesia saat ini makin menjauh dari ide besar, keberanian, kesungguhan dan rasa tanggungjawab para pejuang kemerdekaan.

Kita diwarisi oleh bapak bangsa dengan 4 Pilar (Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, NKRI) plus Tanah Air yang kaya sumber alam dan kekayaan bumi, dan perairannya. Kurang apa? Kita dituntut mengisi kemerdekaan dengan tanggungjawab masing-masing.

Inilah kado HUT Kemerdekaan RI ke-68.

(Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Renungan (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi