Wah! Saya Bukan Yesus?

  10 Oct 2013, 15:11

Masih ingat masa krisis moneter (krismon) 1998. Ketika itu banyak sekali perusahaan-perusahaan bangkrut mendadak dan pekerja-pekerja bergelimpangan ter­kena PHK. Efeknya antara lain adalah anak-anaknya juga terkena imbas ter­utama mereka yang duduk di bangku sekolah. Ketika itu anak penulis, keduanya, berada di salah satu SMU negeri di Jakarta. Isteri penulis dipanggil oleh guru Pembina/Pembimbing sekolah, singkat kata, diberitahu bahwa sekolah sudah berusaha mencari donor bagi anak-anak yang nyaris terkena drop out, karena sudah tiga bulan tak bayar uang sekolah. Persoalannya para donor itu mem­bantu murid-murid Muslim, sementara murid-murid yang beragama Kristen/ Katolik belum memperoleh donasi. Isteri diminta tolong mencarikan ban­tuan bagi murid-murid Kristiani.

Semua bergerak serba cepat. Penulis bersama saudara seiman satu lingkungan MBK (Waldes Sidabutar) segera menyantuni 10 anak dari berbagai kelas, terutama yang akan menghadapi ujian akhir 1998. Lainnya sambil berjalan hingga ada laporan semuanya beres. Dan setelah situasi "normal" hanya satu anak mengha­dap isteri penulis untuk mengucapkan terima kasih setelah diberi bantuan sampai lulus. Yang lainnya? "Mbuh! ora weruh!". Paling kebangetan dari tetangga sendiri santunan sampai berlarut kepanjangan, anaknya tahu sudah kemana? Orang tuanya pun juga berpura bego. Jangankan terima kasih, say helo pun tidak.

Penulis memang bukan Yesus, hanya manusia biasa. Tidak bisa me-ngucapkan "berdirilah dan pergilah. Imanmu telah menyelamatkan eng­kau!". Seperti pada bacaan Injil minggu ini, ketika Yesus menyem­buhkan 10 orang kusta dan hanya satu yang datang untuk mengucapkan terima kasih. Yang lainnya juga "mbuh ora weruh!" Kalau begitu ada perta-nyaan, jadi tidak rela dong, memberi? Oh, bukan seperti itu. Ini menunjuk­kan bahwa sebagai umat Kristiani teladan utama kita adalah Yesus sendiri. Pasti dalam kehidupan kita mengalami susah, senang, kecewa, stress dan sebagainya. Demikian juga dalam karya pelayanan kita tidak butuh pujian. Namun jika memperoleh apresiasi itu menambah semangat. Coba tanyakan saja kepada "pelayan-pelayan" Gereja.

Contoh serupa tapi tak sama jangan heran kalau kita temui di alam kehidupan seperti sekarang ini. Kehidupan semakin pragmatis. Semua kepentingan dilakukan secara pragmatis mengaburkan kepentingan bersama yang lebih dalam dan luas. Situasi berlalu lintas di jalan raya contoh paling kongkrit. Dunia pragmatis itu hampa dan kosong. Coba kita simak kehidupan sehari-hari di kota-kota besar menjadikan orang kadang-kadang tak mengenal rumah sebagai sanctuary tempat ketenangan batin. Rumah hanya sebagai tempat transit bagi kegiatan rutin di luar yang tak kenal henti. Akibatnya ketenangan atau hubungan personal dalam rumah menjadi meresahkan. Banyak orang mengalami the lonely crowd kesepian di tengah keramaian.

Maka sebuah perbuatan baik hanya dinilai sebagai business as usual sudah sewajarnya harus berbuat seperti itu. Jadi kalau kita mendapatkan sesuatu tidak usah berterima kasih, karena dia sudah wajib memberikan itu kepada saya. Praktis dan pragmatis. Maka jangan heran bahwa tidak semua hal bisa dinalar secara pragma­tis. Bagi kita umat Kristiani teladan utama kita ya, Yesus sendiri.

(Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Renungan (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi