Menegur Itu Seni

  3 Sep 2011, 02:17

Seperti biasa setiap habis Lebaran teman-teman akrab yang Muslim selalu mengeluarkan canda klasik " setelah berpuasa, mari kita korupsi lagi ". Ini memang sebuah gambaran stigma tentang kita, di mana terutama rasa malu sudah hilang sama sekali. Mulai di jalan raya misalnya, melanggar rambu-rambu lalu lintas baik secara individual maupun berjamaah. Jika terjadi srempetan atau tabrakan tak malu-malu lagi malah marah-marah, dan bisa jadi solidaritas membabi buta meski berada di pihak yang salah.

Menegur Itu Seni

Lalu, coba perhatikan tentang kasus-kasus korupsi yang akhirnya masuk pengadilan. Sebelum terkumpul bukti-bukti, mereka para pelaku ramai-ramai bela diri tanpa malu-malu lagi di depan TV disaksikan oleh jutaan pasang mata. Ditambah para pengacaranya dengan semangat "maju tak gentar membela yang bayar" juga ikut mengelabuhi masyarakat. Namun akhirnya satu per satu bukti kejahatannya terkuak di pengadilan, dan rekaman TV tanpa malunya kalau diputar ulang, kok, ya mereka biasa-biasa saja. Tak ada perasaan bersalah. Memang sekarang ini zaman edan. Edan beneran!

Zaman edan melahirkan cara pandang sikap hidup dan perilaku yang edan-edanan pula. Jumlah orang yang tak tahu malu di Indonesia bukannya berkurang, malah makin bertambah. Ini ironi kalau kita menengok selama bulan Agustus lalu, di mana negeri ini seolah ada nuansa gairah membangun kesalehan, agamis, di mana-mana ceramah tentang kesalehan bertebaran hampir 24 jam sehari. Dan lebih ironi lagi justru para pelaku kerusuhan atas nama agama, bahkan membunuh dan menikam orang, malah mendapat hukuman ringan seringan-ringannya. Hakim-hakim pengadilan ketakutan karena tekanan massa.

Timbul pertanyaan, apakah tidak ada teguran-teguran sebelum peristiwa-peristiwa yang mengusung dosa itu? Seperti contoh para tokoh-tokoh lintas agama dan masyarakat baru-baru ini menegur secara elegan, akan kondisi Negara akibat kepemimpinan yang tak tegas. Karena kita diingatkan oleh Injil tentang kewajiban orang beriman untuk menegur saudara-saudaranya yang jatuh dalam kesalahan. Kita tidak boleh tinggal diam saja.Editorial WM (21/8/011) mencontohkan peran umat Katolik ikut serta dalam gerakan sadar berbangsa dan bernegara. Menegur itu memang seni, karena ada upaya untuk perbaikan atau pencegahan. Dalam keluarga terutama kepada anak-anak, juga dalam karya pelayanan Gereja, kalau kita asal tegur akan menjadi bahan tertawaan saja. Malah buat nambah khasanah humor.

Maka agar teguran kita efektif, agaknya seni bergaul menjadi peran utama. Dan kita memang tak boleh diam saja jika melihat sekeliling kita ada yang ganjil. Namun lihat dulu diri kita sendiri, bercermin dirilah, agar kita jangan sampai dikatakan orang, " sok negur-negur apa nggak lihat dirinya juga penuh keganjilan? "

(Ign. Sunito)

Lihat Juga:

Renungan (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi