Tujuh Dosa Mematikan: Kelambanan atau Kejemuan
Yeremias Jena | 25 Jun 2017, 04:48
Saya yakin pembaca Warta Minggu (WM) sudah membaca dan kurang lebih memahami dua dosa yang berhubungan dengan nafsu ragawi, yakni dorongan seks dan ketamakan. Dosa ketiga dalam kelompok yang sama dan yang akan saya bahas dalam WM edisi ini adalah kelambanan atau kejemuan (sloth/acedia).
Kelambanan atau kejemuan adalah jenis dosa pokok yang paling sulit dideskripsikan. Secara leksikal, kelambanan atau kejemuan dipahami sebagai 'rasa tidak tertarik yang sudah menjadi kebiasaan dan yang menyebabkan seseorang lamban atau bahkan tidak tergerak untuk melakukan suatu kebaikan'. Bahasa Latin menyebut watak semacam ini dengan istilah acedia, yang artinya 'tanpa kepedulian'. Pengertian ini menyiratkan bahwa orang bisa saja melakukan suatu tindakan tanpa rasa peduli, jadi melakukannya seperti robot, dan itu karena tidak ada rasa tertarik, rasa simpati, rasa menjadi bagian dari sesuatu, dan sebagainya. Atau, orang mengambil sikap malas, cuek, acuh-tak-acuh dan tidak melakukannya sama sekali.
Dalam tradisi spiritual Gereja Katolik, sikap acedia digunakan untuk menggambarkan sikap dan sifat para rahib yang acuh-tak-acuh terhadap tugas dan tanggungjawab hariannya dan gagal membangun relasi pribadi dengan Allah. Karena semangat hidup para rahib adalah 'berdoa dan bekerja', sikap malas, lamban, tidak tertarik, acuh-tak-acuh dan tidak bersemangat dalam menjalani hidup justru dilihat sebagai suatu perbuatan dosa.
Sebenarnya, secara psikologis, sikap acedia atau kelambanan/kejemuan berhubungan dengan sikap dingin dan tidak-terpengaruh, atau sikap cuek terhadap orang lain dan terhadap lingkungan sekitar. Secara fisik, sikap kelambanan/kejemuan atau sikap malas berhubungan dengan sikap tidak bergerak, malas, dan tidak mau terlibat dalam suatu kegiatan tertentu. Sementara secara spiritual, sikap acedia berhubungan dengan sikap malas, dingin, cuek, bosan, dan tidak bergairah dalam membangun relasi dengan Allah.
Menurut Thomas Aquinas, sikap kelambanan atau kejemuan biasanya berhubungan dengan 2 hal sekaligus. Pertama, sikap dingin, pesimistik, acuh-tak-acuh terhadap relasi dengan Allah dan kehidupan spiritual. Kedua, sikap pasif, penarikan diri, dan ketidakpedulian pada berbagai upaya menciptakan kebaikan. Sementara menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), sikap kelambanan dan kejemuan sebenarnya adalah sikap acuh-tak-acuh terhadap kasih Allah, sikap menolak menjadi sarana penampakan kasih Allah, atau sikap menarik diri dari keterlibatan karya penebusan Allah (KGK, 2094). Sikap semacam ini dapat termanifestasi dalam sikap yang kurang ramah, sikap tidak tahu berterima kasih, sikap hidup tanpa rasa syukur, menolak menjawab kasih Allah, menolak menyerahkan diri kepada Allah, kebencian terhadap kasih Allah karena keyakinan berlebihan pada kemampuan diri sendiri, dan sebagainya.
Jika demikian, perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai dosa karena kelambanan atau kejemuan? Pertama, sikap jenuh (jemu) karena kekosongan semangat dan bela-rasa. Sikap ini dapat membuat kita menjadi malas, lamban berbuat baik, atau melakukan suatu kebaikan tetapi secara terpaksa. Kedua, sikap menghindar berbuat baik karena enggan atau takut mengambil risiko, sikap tidak mau menerima dampak suatu tindakan. Ketiga, sikap malas dalam berbuat baik. Keempat, sikap malas untuk bertumbuh dalam hidup rohani.
Keempat aspek ini adalah kerangka besar yang dapat kita gunakan untuk mengevaluasi sikap dan tindakan kita. Mari kita ambil satu contoh sebagai ilustrasi. Sebagai seorang guru, saya seharusnya mempersiapkan materi pengajaran. Dengan alasan materi sudah sering diajarkan, saya memutuskan untuk tidak mempersiapkannya. Padahal dengan tindakan tersebut, saya tidak memperbarui materi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya, para peserta didik tidak menerima pengetahuan yang seharusnya mereka dapatkan. Ada berbagai alasan yang dapat saya gunakan untuk membenarkan tindakan saya, tetapi yang jelas, sikap malas atau kelambanan atau kejemuan ada di antara berbagai alasan itu. Jika betul bahwa saya melakukan itu karena sikap malas atau acuh-tak-acuh terhadap profesi, saya sebetulnya telah melakukan dosa acedia.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa keutamaan yang dapat menangkal jenis dosa ini adalah sikap rajin (diligence). Ini adalah sikap setia mengerjakan segala hal yang memang harus dikerjakan karena tanggung jawab atau karena talenta (bakat) yang sudah diberikan Allah, tetapi sekaligus juga memberi ruang bagi Allah untuk melengkapi dan menyempurnakan apa yang sudah dikerjakan. Harus diakui, sikap rajin adalah bagian dari etika dan etos kerja Kristiani ketika kerja adalah bagian dari upaya merealisasikan diri, membangun dunia dan memuliakan Allah. Sementara sikap malas, lamban dan enggan tergerak justru mencoreng etos kerja Kristiani itu sendiri.
Sikap malas dikategorikan sebagai perbuatan dosa. Sebaliknya sikap rajin bekerja dan berkarya tetapi mengandalkan hanya kekuatan dan kemampuan sendiri juga termasuk dosa. Setiap umat Katolik didorong untuk rajin bekerja, rajin melakukan kebaikan, rajin dan setia mengerjakan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya, rajin mengembangkan talenta yang sudah diberikan Allah. Sebaliknya, kita pun membuka diri dengan rendah hati bagi karya-karya Allah yang akan menyempurnakan segala sesuatu yang sudah kita kerjakan.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |