Tujuh Dosa Mematikan: Kemurkaan

 Yeremias Jena  |     22 Jul 2017, 02:59

Kemurkaan menjadi dosa terakhir dari rangkai tujuh dosa mematikan yang dibahas Warta Minggu selama enam minggu terakhir. Bersama dengan kesombongan (pride) iri hati (envy), kemurkaan (wrath) adalah bagian dari tiga dosa yang berhubungan dengan sikap sombong atas kehidupan diri (the pride of life). Keutamaan Kristiani yang dibutuhkan untuk menangkal jenis dosa ini adalah kelembutan-hati (meekness).

Ada dua sikap Yesus yang mungkin membingungkan dan menimbulkan tanya: apakah orang Kristiani memang tidak boleh marah? Jika ya, mengapa Tuhan Yesus pernah marah? Dalam Khotbah di Bukit, misalnya, Yesus mengatakan bahwa siapa yang marah kepada saudaranya harus dihukum (Mat 5:22) atau Sabda Yesus bahwa setiap orang yang percaya kepada-Nya harus berdamai terlebih dahulu dengan saudara dan sesamanya sebelum mempersembahkan korban kepada Allah (Mat 5:23-24). Tetapi di lain pihak, Yesus mengusir pada pedagang di Bait Allah (Mat 21:12-16; Luk 19:45; Yoh 2:13-17), atau ketika Dia mengecam orang-orang Farisi dan para ahli Taurat sebagai munafik (Mat 23:15).

Rupanya banyak orang sudah mengajukan pertanyaan atas dua sikap Yesus ini, dan jawaban terhadapnya membuat kita mengerti lebih mendalam apa yang dimaksud dengan kemarahan dan kemurkaan, apakah orang Kristiani tidak boleh marah, jika boleh marah, dalam kondisi apakah diperbolehkan, dan kapan kemarahan dikategorikan sebagai dosa?

Katekismus Gereja Katolik (KGK) menggunakan istilah wrath untuk menyebut jenis dosa ini (art. 1866), sementara Kompendium Katekismus Gereja Katolik (KKGK) menggunakan istilah anger (art. 398). Keduanya memiliki arti yang berbeda. Webster Dictionary mendeskripsikan kata anger (marah) sebagai emosi individu yang merasa jengkel dan tidak senang terhadap sikap atau tindakan orang lain terhadap dirinya yang menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidaksukaan. Sikap ini tidak harus mengarah kepada tindakan kekerasan terhadap orang lain. Sebaliknya, wrath (murka) digunakan untuk menggambarkan sikap marah yang mendalam dan yang mengarah kepada aksi balas dendam, kekerasan, dan tindakan menciderai orang lain. Dalam arti itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membedakan secara tepat kata 'marah' dan 'murka'. Dari sini menjadi jelas bahwa sikap dan tindakan yang tergolong dosa adalah 'murka' atau 'kemurkaan'.

Sikap Yesus yang dirujuk di atas sebenarnya bukan suatu ambiguitas. Sikap semacam ini justru menegaskan bahwa dalam situasi tertentu orang Kristiani harus marah (anger) dan kemarahan itu berakar pada rasa cinta pada orang yang dimarahi serta keinginan untuk melihat dia berkembang ke arah yang lebih baik. Dalam konteks kemarahan Yesus pada orang Farisi dan ahli Taurat atau mengusir para pedagang di Bait Allah, ini dilakukan karena cinta Yesus pada mereka. Tuhan Yesus justru menginginkan semua mereka menerima Terang yang sudah ada di antara mereka, membuka diri untuk keselamatan, menerima Dia sebagai Mesias dan berpartisipasi dalam rencana keselamatan Allah. Meskipun mereka menolak dan berkeras hati, cinta dan rencana keselamatan tetap ditujukan kepada semua orang, termasuk orang Yahudi.

Demikianlah, sikap marah itu sebenarnya baik dan dibutuhkan; dan ini ditegaskan dalam KGK art. 1767. Misalnya, orangtua memarahi anaknya yang tidak disiplin dalam mengerjakan tugas sekolah. Digerakkan oleh cinta akan kebaikan dan kesempurnaan orang lain, marah dapat menjadi cara yang baik untuk mengoreksi dan memperlihatkan cinta Tuhan. Dalam arti ini orang Kristiani boleh dan wajib marah. Kita tidak pernah boleh bersikap diam dan menerima begitu saja perilaku dosa, korupsi, ketidakadilan, dan sebagainya yang ada di sekitar kita.

Tetapi di lain pihak, jika tidak hati-hati, kemarahan bisa menjadi tindakan dosa, apa yang diistilahkan sebagai kemurkaan (wrath). Kemarahan berkembang menjadi kemurkaan dan dosa jika timbul keinginan untuk membalas dendam, hasrat mencelakai dan mencederai orang yang sudah membuat kita merasa marah (KGK 2302). Santo Thomas Aquinas mengatakan, "Menghendaki dendam untuk orang yang harus dihukum; tidak diperbolehkan, tetapi menghendaki dendam sebagai siksa untuk kebiasaan buruk dan untuk mempertahankan keadilan itu terpuji" (Sum Th. 2-2, 158,1 ad 3).

Kita belajar dari Santo Thomas Aquinas untuk menahan diri dari kemurkaan. Kemarahan bisa berubah menjadi murka jika (1) kita marah pada suatu hal yang salah, pada suatu hal yang bukan tidak adil. Misalnya, kita punya masalah relasional di rumah tetapi melampiaskannya di tempat kerja. (2) Ketika kemarahan didasari oleh motivasi untuk membalas dendam, dan bukan untuk mengoreksi atau mengasihi orang lain. (3) Terhadap suatu tindakan atau perilaku buruk yang tidak terlalu besar kita mengekspresikan kemarahan secara berlebihan dan membabi-buta sehingga tidak hanya menyakitkan tetapi menjadi semacam balas dendam dan ketidaksukaan kita. Bahasa gaulnya, kemarahan yang terlalu lebay terhadap suatu kesalahan kecil.

Lawan terhadap kemurkaan adalah sikap kelembutan-hati (meekness). Inilah sikap hati dan perilaku lembut, rendah hati dan sabar menanggung segala penghinaan atau perlakuan buruk terhadap dirinya. Inilah sikap seorang hamba yang dimaksud Paulus dalam Suratnya kepada Timotius, bahwa seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang, cakap mengajar dan sabar, supaya bisa menuntun orang yang suka melawan kepada pertobatan dan pengenalan akan Tuhan (2Tim 2:24-25).

Meskipun begitu harus selalu diingat bahwa kemarahan berbeda dengan kemurkaan, dan bahwa kemarahan tetap penting dalam hidup keimanan kita dalam situasi yang memang dibutuhkan. Kemarahan yang positif justru dapat menjadi jalan untuk menyingkapkan cinta kasih Tuhan Yesus sendiri.

Lihat Juga:

Kolom Iman (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi