Tujuh Dosa Mematikan: Ketamakan
Yeremias Jena | 18 Jun 2017, 04:24
Minggu lalu kita sudah membahas dosa pertama dari tujuh dosa pokok, yakni dorongan/nafsu seksual. Harap pembaca masih mengingat beberapa poin penting dalam artikel tersebut.
Kali ini saya membahas dosa kedua yang dihubungkan dengan hasrat/keinginan tubuh, yakni ketamakan (gluttony). Tidak mudah meyakinkan orang Kristiani bahwa ketamakan adalah dosa persis ketika makanan dan kuliner terus menjadi bagian penting dari gaya hidup kontemporer.
Kata 'gluttony' berasa dari kata Bahasa Latin 'gluttire' yang artinya 'melahap atau menelan dengan'. Kata ini terutama digunakan untuk mendeskripsikan orang yang menelan makanan dan minuman dalam jumlah yang berlebihan. Itu artinya orang tersebut memaksa menelan makanan dan minuman padahal dirinya sudah kenyang. Menurut Thomas Aquinas, perilaku ini justru bertentangan dengan orde/keteraturan pikiran. Pikiran atau nalar harus mengendalikan perilaku. Karena sifat pikiran adalah keteraturan, dampak dari perilaku yang dikendalikan olehnya seharusnya juga adalah perilaku yang tertata dan teratur. Ketamakan bukanlah perilaku yang tertata dan teratur.
Masalahnya apakah ada indikator atau ukuran tertentu yang dapat digunakan untuk menentukan apakah seseorang itu tamak atau tidak? Harus diakui bahwa setiap orang tahu dengan cukup baik apa yang menjadi ukuran tamak atau tidak tamak dirinya. Sebagai contoh, seseorang dapat disebut tamak jika mengonsumsi makanan dan minuman secara berlebihan sehingga membahayakan hidup dan kesehatannya. Orang tersebut makan bukan karena tuntutan keberlangsungan hidup, tetapi karena mengejar kenikmatan.
Mari kita ambil satu contoh nyata. Pola makan yang salah telah menyebabkan lebih dari 40 juta orang Indonesia menderita obesitas (data Riset Kesehatan Dasar/Riskesda: 2016), dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak-anak. Kebiasaan makan yang salah itu menyangkut tidak hanya konsumsi karbohidrat dalam jumlah yang lebih banyak dari protein dan serat, tetapi juga kurangnya aktivitas fisik. Itu artinya, jika perilaku makan mengikuti orde pikiran seperti yang dikatakan Thomas Aquinas, maka dapat dikatakan bahwa lebih dari 40 juta orang Indonesia telah melakukan kesalahan dan dosa, karena tidak mampu mengontrol godaan kenikmatan makanan.
Tentu diet, olahraga dan pola hidup sehat dapat menjadi jalan keluar. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Tradisi spiritual Katolik mengingatkan kita bahwa praktik hidup sehat yang tidak didorong oleh motivasi yang benar, justru dapat jatuh ke dalam apa yang Santo Yohanes dari Salib sebut sebagai 'ketamakan spiritual'. Misalnya, ketika seseorang melakukan diet dan hidup sehat bukan demi menjaga hidupnya tetap sehat, tetapi supaya bisa tampil cantik, seksi, mempesona demi kepuasan diri atau demi kepentingan iklan dan komersial lainnya.
Dalam hal makan, nasihat spiritual Katolik berikut hendaknya diperhatikan: marilah kita makan tidak cepat-cepat tetapi juga tidak terlalu lambat. Marilah kita mengonsumsi makanan yang tidak berbiaya tinggi melebihi kemampuan kita, melebihi ukuran yang kita butuhkan dan bukan demi menikmati kelezatan makanan itu sendiri. Dalam mengonsumsi makanan hendaklah tidak terlalu ekspresif dan bersemangat (excitement). Selain itu, makanan sebagai kepenuhan badaniah (fisik) hendaknya memperoleh kesempurnaan dan kepenuhannya dalam perayaan Ekaristi di mana Tuhan Yesus sendiri mempersembahkan tubuh-Nya menjadi santapan rohani. Perayaan Ekaristi mengingatkan kita sebagai tubuh yang telah dikuduskan dan diikutkan dalam misteri keselamatan melalui Tubuh dan Darah Kristus. Kenyataan teologis ini seharusnya membantu kita untuk memperlakukan tubuh kita sebagai realitas Ilahi juga.
Selain takaran individual, ada juga takaran sosial-relasional. Makanan tidak perlu kita habiskan dan nikmati sendiri. Kita dapat berbagi makanan dan minuman dengan orang yang sedang lapar dan haus di sekitar kita. Itulah solidaritas injili yang dapat membebaskan kita dari dosa karena ketamakan.
Lawan atau penangkal ketamakan adalah keutamaan keugaharian (temperance). Keutamaan ini berhubungan dengan kehendak untuk tidak melakukan sesuatu meskipun dia bisa melakukannya. Misalnya, orang menahan diri untuk tidak marah meskipun dia bisa melakukannya, menahan diri dari balas dendam dan kebencian, dan sebagainya. Sebagai penangkal terhadap ketamakan, keugaharian berhubungan dengan kemampuan menahan diri untuk tidak mengkonsumsi makanan dan minuman secara berlebihan, tidak membuang makanan, dan sebagainya. Keutamaan keugaharian dalam menyangkal ketamakan berhubungan dengan bagaimana kita berpikir, merasa, dan berperilaku seimbang (moderation). Dan itu tidak hanya soal bagaimana mengendalikan diri dari nafsu makan dan minum berlebihan, tetapi juga menjaga keseimbangan pikiran, perasaan, dan sikap supaya tidak marah atau kecewa terhadap situasi di mana kita harus mengkonsumsi makanan dan minuman yang jauh dari selera kita sendiri.
Meskipun termasuk 'dosa ringan' (venial sin), ketamakan tetap merupakan dosa pokok yang dapat menyebabkan terjadinya dosa-dosa lain. Tugas kita adalah memperhatikan dan mempraktikkan 'spiritualitas makan' seperti yang diuraikan di atas sambil terus mempraktekkan solidaritas sosial.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |