Tujuh Dosa Mematikan: Kesombongan
Yeremias Jena | 8 Jul 2017, 01:23
Warta Minggu edisi ini akan membahas satu dari tiga dosa terakhir yang berhubungan dengan rasa bangga dan pemujaan berlebihan atas kehidupan (the pride oflife). Dosa itu bernama kesombongan (pride).
Kesombongan dalam Bahasa Latin disebut superbia, artinya sifat membanggakan diri secara berlebihan. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mendeskripsikan jenis dosa ini sebagai membanggakan-diri, menghargai-diri atau mencintai-diri secara berlebihan. Orang dengan sifat demikian selalu memposisikan diri sebegitu rupa supaya bisa menjadi pusat perhatian. Dia ingin selalu dihormati dan dianggap hebat. Dia menempatkan diri sebagai yang lebih tinggi dari Allah, atau bahkan tidak mengakui Penyelenggaraan Ilahi dalam hidupnya (Lih. KGK 1866).
Dalam kultur Katolik, sifat-sifat yang dihubungkan dengan kesombongan meliputi (1) berpenampilan mewah secara berlebihan (vanity), misalnya suka memamerkan kekayaannya supaya bisa dianggap hebat dan supaya menjadi pusat perhatian dan pusat rasa kagum. (2) Membanggakan prestasi atau kesuksesan atau pencapaian hidup secara berlebihan (vainglory); (3) sifat membual atau banyak bicara dengan membanggakan diri secara berlebihan melalui kata-kata (conceit); (4) menampilkan diri secara berlebihan sebagai pribadi yang hebat dan unggul tetapi dengan meremehkan atau menghina orang lain (arrogance); (5) menjadikan diri sebagai rujukan atau patokan dalam tutur kata dan tindakan (egotism); (6) bermulut besar dan suka membual (boasfulness); (7) memuja diri sendiri (self-glorification) dan mencintai diri secara berlebihan. Sifat sombong berhubungan dengan (8) rasa percaya diri berlebihan (hubris) padahal orang tersebut tidak bisa membuktikan bahwa dirinya mampu mengerjakan apa yang diomongkannya itu (futility).
Berdasarkan pengertian ini, kesombongan sebenarnya berhubungan dengan sifat manusia yang memosisikan dirinya lebih tinggi dari atau beroposisi dengan Allah. Inilah sebenarnya sifat dasar Lucifer yang membuat Allah marah dan mengusirnya bersama pengikut-pengikutnya dari Surga. Kesombongan dibisikkan setan ke dalam hati manusia supaya melawan dan menolak Allah. Manusia pertama jatuh ke dalam dosa karena ingin menyelami pikiran Allah dan menyamai-Nya (Kej 3:4-6); pun pula ketika manusia ingin menyamai Allah dengan mendirikan menara Babel (Kej 11:4). Orang sombong termasuk orang tinggi hati yang selalu terangkat kelopak matanya (Am 30:13), mereka seperti orang Moab yang tinggi hati dan selalu membanggakan diri (Yer 48:29). Sifat sombong juga nyata dalam diri para penguasa yang congkak yang hendak mendirikan tahta kekuasaannya melampaui Allah (Yes 14:13-14).
Apakah dengan begitu orang Katolik tidak boleh membanggakan dirinya dan menilai dirinya lebih unggul? Tentu saja boleh. Persoalannya, apakah membanggakan diri dan menilai diri lebih unggul itu dilakukan sebagai hamba yang rendah hati, yang memahami bahwa segala prestasi dan sukses dalam hidupnya itu dia capai berkat usahanya dan campur tangan Penyelenggaraan Ilahi, atau justru sebaliknya melawan dan menolak kehadiran Allah? Santo Thomas Aquinas menggunakan istilah magnanimity untuk menggambarkan rasa puas diri dan kebanggaan pada diri sendiri (self-esteem). Artinya, rasa puas diri dan bangga pada diri sendiri itu penting. Para psikolog bahkan mengindikasikannya sebagai perkembangan kepribadian yang sehat ketika orang memiliki gambaran diri yang positif. Di sini Santo Thomas Aquinas membantu kita dengan kemampuan magnanimity ini, yakni sikap atau disposisi pikiran yang sifatnya luhur (high-minded), yakni sikap yang terbuka pada kehadiran Allah, karena keyakinan bahwa segala yang telah dicapai dalam hidup itu terjadi karena campur tangan Allah.
Rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi menegaskan pentingnya meneladani sikap Kristus yang tidak menyombongkan diri-Nya. Paulus menegaskan bahwa meskipun sebagai Putra Allah, Yesus tidak mengganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Dia justru mengosongkan diri-Nya dan mau menjadi manusia - kecuali dalam hal dosa - bahkan menyerahkan diri-Nya menjadi tebusan bagi dosa-dosa kita (bdk Fil 2:4-11).
Demikianlah, kesombongan hanya dapat kita atasi dengan sikap rendah hati (humility). Jika kesombongan membuat kita memosisikan diri lebih tinggi dari Allah dan sesama secara berlebihan, kerendahan hati mendorong kita untuk melihat diri secara lebih utuh sebagai makhluk ciptaan Tuhan, bahwa segala prestasi dan kesuksesan hidup ini terjadi berkat Penyelenggaraan Ilahi. Seperti dikatakan Santo Bernardus, kerendahan hati membuat kita menjadi tidak besar kepala dan memahami dirinya apa adanya. Kerendahan hati adalah keutamaan yang memampukan kita menyerahkan seluruh diri, seluruh kemerdekaan, seluruh kehendak dan pikiran seperti yang didoakan Santo Ignasius dari Loyola. Kerendahan hatilah yang memampukan kita senantiasa terbuka pada Penyelenggaraan Ilahi dalam seluruh hidup dan karya kita.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |