MGR. Hadisumarta, O.Carm: Saya Naik Motor Malang-Jakarta Tiga Hari
26 Dec 2016, 08:22
Rendah hati, apa adanya dan tidak menutupi kekurangan, begitu kesan yang muncul terhadap sosok Uskup Emeritus Mgr. Franciscus Xaverius Sudartanta Hadisumarta, O.Carm, begitu nama lengkapnya. Beliau mempersilakan Warta Minggu (WM) Multi Media masuk dan duduk di ruang tamu Wisma Karmelit Jakarta.
Saat itu, posisi duduk WM Multi Media berada di sisi kiri Mgr Hadi, begitu beliau disapa, namun Mgr. Hadi meminta WM pindah ke posisi sebelah kanan beliau. "Maaf bisa pindah ke posisi sebelah kanan saya? Pendengaran sebelah kiri saya sudah tidak bagus. Jadi, tolong pindah ke sebelah kanan, dan agak keras jika berbicara dengan saya. Pendengaran saya yang sebelah kanan lebih baik," tutur Mgr. Hadi, yang 13 Desember lalu genap berusia 84 tahun.
Sosoknya masih kelihatan segar. Namun, beliau mengatakan bila kondisinya sudah semakin menurun, dan saat wawancara berlangsung, beliau baru saja sembuh dari sakit. Mgr Hadi bercerita, ada tiga ruas tulang belakangnya yang harus dioperasi di Singapura. Itulah alasan mengapa dia menggunakan penyangga tulang belakang. Meski menggunakan penyangga tulang belakang, tidak mempengaruhi aktivitas memimpin misa.
"Saya selalu pakai penyangga tulang belakang, kadang saya susah berjalan. Kalau berdiri saat misa berlangsung tidak masalah, hanya jika berjalan agak sulit. Rasanya seperti kesemutan, jadi berjalan musti perlahan-lahan," kata Mgr. Hadi, sambil memperlihatkan penyangga tulang belakangnya, Sabtu (19/11/2016).
Bagi Mgr. Hadi, selama sepuluh tahun berada di Wisma Karmelit Jakarta, cukup senang. Namun, beliau mengisyaratkan akan lebih senang lagi jika bisa hidup wajar. "Hidup wajar di sini agak sulit ya. Salah satu contohnya, orang harus menggunakan Air Conditioner (AC), karena udara Jakarta memang sangat panas sekali. Jadi ya, memang sulit untuk bisa hidup wajar," ujar Mgr.Hadi.
Jika diminta memilih, yang berkaitan dengan pola hidup wajar tersebut, Mgr Hadi suka tinggal di Malang. "Memang di sini kelihatan agak mewah ya.. Tapi sebenarnya wisma ini ada sejarahnya. Karmelit di Jakarta tidak mempunyai rumah, pastoran itu milik keuskupan. Jadi tidak enak apabila kita numpang di pastoran," kata Mgr. Hadi.
Soal pilihan tinggal, memang di Malang lebih nyaman, namun Mgr. Hadi justru memilih tidak tinggal di Malang. "Nah, terkait dengan soal pilihan tadi, saya lebih baik tidak tinggal di Malang, meski lebih suka. Keuskupan Malang biar hanya ada satu Uskup, kalau saya di Malang akan menjadi tidak baik, meskipun saya Uskup Emeritus. Saya lebih baik di sini. Ibaratnya kapal, hanya satu nakhoda saja," tutur Mgr Hadi.
Berharga
Jika membicarakan perjalanan pelayanan Mgr. Hadi, yang paling berharga justru saat melayani di Keuskupan Manokwari, Sorong, Papua. Memang, Mgr. Hadi mengaku sangat berat melayani di Papua, namun justru kini dia merasakan begitu berharganya pelayanan yang dilakukan selama 15 tahun di Papua.
"Saya selama 15 tahun melayani di Papua saat itu memang terasa sangat berat. Namun, saat ini saya justru merasakan pelayanan yang saya lakukan selama 15 tahun tersebut sangat berharga," ungkap Mgr. Hadi.
Dari cara berfikir, kebudayaan, kebiasaan dan tingkah laku juga sangat berbeda antara melayani di pulau Jawa dan di Papua. "Selalu muncul perbedaan. Tidak semua orang bisa mengikuti cara pikir saya. Orang papua tidak mengenal apa arti rendah hati. Tidak mengenal sopan santun, justru perbedaan ini terasa sangat berharga sekali bagi saya," kata pria kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 13 Desember 1932 ini.
Di Papua mereka mengatakan harus ada kepastian, termasuk ketika Mgr. Hadi blusukan di pasar-pasar. Mgr. Hadi mendapatkan hal yang berbeda dari cara berdagang orang Jawa dan Papua. "Soal tawar menawar harga, tidak pernah terjadi. Harga mereka selalu pas, tidak bisa ditawar. Artinya, mereka mematok harga pas, jika tidak mau membeli dengan harga tersebut, ya tidak apa-apa, jadi tidak ada tawar menawar," ujar Mgr. Hadi, yang ditahbiskan sebagai Imam Karmelit (OCarm) pada 12 Juli 1959 ini.
Masih soal perbedaan kebiasaan, budaya dan cara menyampaikan pendapat. Mgr. Hadi bercerita, dalam sebuah pertemuan komunitas basis, dia dikritik secara tajam di depan umum oleh orang Papua. "Saya dikritik di depan umum. Dihadapan sekitar 175 orang, komunitas basis. Mereka mengatakan, mari kita bandingkan kepemimpinan Uskup Van Diepen (Mgr Petrus Malachias van Diepen, OSA) dengan Uskup Hadisumarto. Memang saat itu saya tidak bisa menilai, baru terasa berharga saat ini, setelah saya berada di wisma ini," tutur sahabat Romo Y.B. Mangunwijaya almarhum ini.
Naik Skuter
Situasi revolusi di Jawa Tengah pada awal tahun kemerdekaan Republik Indonesia memaksa menjadi Semiaris diaspora, karena Seminari diduduki Belanda. Saat itu, seluruh tempat pendidikan tidak memungkinkan untuk menampung para Seminaris belajar dengan tenang. "Saya bersama almarhum Romo Mangun dipanggil dan disarankan ke Jawa Timur (Malang) untuk melanjutkan pendidikan. Itu terjadi sekitar tahun 1948," ungkap Mgr. Hadi.
Ada cerita menarik tentang Romo Mangun, sahabat Mgr. Hadi ini. "Romo Y.B. Mangun itu aslinya namanya Bilyarta, Mangun itu nama ayahnya. Y.B. itu bukan Yohanes Baptis, tapi Jusuf. Dia diberi nama Bilyarta, karena lahir saat ayahnya sedang main bilyard," kenang Mgr. Hadi tentang nama Romo Y.B. Mangunwijaya ini.
Pada tahun 1949, Mgr. Hadi bersama Romo Mangun kemudian berangkat ke Malang. Dari Magelang, mereka menuju pelabuhan Semarang, lalu naik kapal menuju Surabaya. Setelah itu disambung dengan kereta api menuju Malang. "Saya bersama Romo Mangun masuk SMA St Albertus (Dempo) Malang. Lalu kami berdua masuk Seminari Tinggi," jelas Mgr. Hadi, yang kemudian lebih dikenal sebagai arek Malang.
Setelah menyelesaikan pendidikan Seminari, Romo Mangun dikirim ke Jerman untuk mengambil studi Arsitektur. Setelah 10 tahun menjalani studi dan menjadi arek Malang, Mgr. Hadi ditahbiskan pada tahun 1959, lalu pada tahun 1960, Mgr. Hadi dikirim melanjutkan studi ke Roma (Italia). "Kami bertemu lagi di komunitas mahasiswa katolik Indonesia di Eropa, minimal satu tahun sekali ada pertemuan," kata Mgr. Hadi.
Perjalanan menuju Italia ternyata tidak segampang saat ini. Mgr. Hadi membutuhkan waktu tiga minggu (sekira 21 hari) perjalanan dari Jakarta menuju Italia (Eropa). "Saya naik kapal, selama tiga minggu, tahun 1960. Rutenya, kapal berangkat dari Sydney menuju Jakarta - Singapura - India - lewat terusan Suez - menuju pelabuhan genoa (italia)," kata Mgr. hadi.
Pada tahun 1965, usai studi di Roma, Mgr. Hadi pulang ke Malang mengajar. Satu tahun mengajar di Malang, Mgr Hadi kemudian ditugaskan ke Pematang Siantar, pada tahun 1966. Saat itu situasi Indonesia juga kurang baik, karena pada September 1965, isu PKI sangat menakutkan.
Sebagai pastor muda yang energik, Romo Hadi dikenal senang naik Skuter (Vespa). Nah, saat menuju Jakarta - sebelum berangkat ke Pematang Siantar - inilah, Mgr. Hadi melakukan perjalanan dengan menggunakan Skuter (Vespa) selama tiga hari.
"Saat itu, transportasi susah. Isu PKI masih sangat menakutkan. Akhirnya saya naik skuter ke Jakarta. Selama tiga hari perjalanan dari Malang ke Jakarta. Rutenya, saya dari Malang ke Magelang pamit Bapak-Ibu, lalu lanjut ke Jakarta lewat Ambarawa, Semarang, Pekalongan, Tegal istirahat di Cirebon, lalu menuju Jakarta," ungkap Mgr. Hadi.
Selama perjalanan menuju Jakarta, Mgr. Hadi selalu memakai jubah yang digulung, lalu ditutup jaket agar aman dari terpaan angin dan debu. "Mengapa saya pakai jubah? Agar perjalanan saya aman. Karena, sepanjang perjalan Malang - Jakarta, selalu ada pemeriksaan PKI atau bukan. Dengan menggunakan jubah, mereka mengenal saya sebagai Pastor (Romo) dan bukan atheis (komunis)," terang Mgr. Hadi.
Di Pematang Siantar, setiap Senin-Jumat saya mengajar di Seminari Tinggi, selain melakukan pelayanan pastoral. "Romo Johannes Indrakusuma, Mgr. Pandoyo, Mgr. Sinaga adalah bekas murid saya," kata Mgr. Hadi, yang juga studi tafsir Kitab Suci di Yerusalem ini.
Mgr. Hadi sempat mengalami kecelakaan di kawasan perkebunan karet, yang jaraknya cukup jauh di luar kota Pematang Siantar, yang menyebabkan dia tidak sadarkan diri selama dua bulan. Setelah kecelakaan tersebut, ia dirawat di rumah sakit di Pematang Siantar dan di Medan sebelum akhirnya dirawat selama tiga bulan di Nijmegen, Belanda, dan menjalani pemulihan selama enam bulan di Bonn, Jerman. Setelah pulih, dia meneruskan tugasnya mengajar di Seminari Tinggi Pematang Siantar dan Seminari Tinggi Malang.
"Hingga saat ini, saya tidak pernah tahu, apa, bagaimana, mengapa dan karena apa saya kecelakaan. Yang pernah diceritakan kepada saya, bahwa saya tidak sadar selama dua bulan. Tetapi Tuhan itu baik," kata Mgr Hadi menutup pembicaraan.
(bnj)
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |