Sudah Adilkah Pelayanan Kita?
Helena D.Justicia | 15 Apr 2017, 23:33
Keluarga itu tak pernah aktif di Lingkungan, tak pernah hadir pertemuan. Ada saja
alasannya; apakah itu kesibukan kerja, acara keluarga dan sebagainya. Pengurus Lingkungan
pun tak berdaya. "Mau bagaimana? Mereka sendiri tak menunjukkan keinginan terlibat
dengan warga Lingkungan," tutur seorang pengurus dengan kesal.
Sementara itu, di Lingkungan lain, ada keluarga yang 'terkucil'. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa keluarga itu 'bermasalah'. "Kami tak bisa apa-apa, karena itu kan urusan
keluarga. Kami tidak bisa masuk dan intervensi begitu saja," ujar seorang pengurus
Lingkungan. "Kami hanya melakukan pelayanan doa untuk mereka. Setiap pertemuan dan
secara pribadi, kami berdoa."
Adakah yang Dapat Dilakukan?
Kisah dari dua Lingkungan itu, ternyata mendapat tanggapan berbeda dari Lingkungan lain
yang memiliki persoalan serupa. "Warga yang tidak aktif tetap kami layani," kata seorang
Ketua Lingkungan. "Kami tetap memastikan mereka mendapat informasi mengenai
pelayanan Gereja, misalnya dengan mengirimkan majalah paroki, bahan-bahan bacaan,
bahkan buku renungan harian." Diharapkan dengan itu semua, "Relasi mereka dengan
Gereja tidak putus, kendati juga tidak aktif."
Ketua Lingkungan lain berbagi cerita, "Kebetulan di Lingkungan kami banyak alumnus Kursus
Evangelisasi Pribadi (KEP). Mereka kan belajar untuk melakukan kunjungan rumah. Merelah
yang kami mintai bantuan untuk mengunjungi rumah warga, sekaligus juga mengumpulkan
data warga untuk kelengkapan Kartu Keluarga (KK). Syukurlah semua berjalan baik."
Ilustrasi-ilustrasi tentang situasi yang dihadapi oleh Lingkungan-lingkungan itu, menjadi
gambaran bagi kita. Betapa tidak mudahnya melayani umat Allah. Realitas yang dialami,
perlu dimengerti dengan baik sebelum memutuskan jenis pelayanan yang diberikan.
"Kebetulan Wilayah kami rutin mengadakan pertemuan. Di situlah kami pengurus
Lingkungan dapat ber-sharing satu sama lain, sehingga saling menginspirasi dan
membantu," ujar seorang Ketua Lingkungan. "Sering juga dapat masukan yang sebelumnya
tak terpikir oleh kami," tambah Ketua Lingkungan lain sambil tertawa.
Keadilan dalam Pelayanan Kita
Pada 2017 ini, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menetapkan tema pelayanan pastoral
'Amalkan Pancasila: Makin Adil, Makin Beradab'. 'Adil' menunjuk pada ciri kesetaraan umat
manusia. Perbedaan antar-manusia tidak boleh menjadi dasar bagi perlakuan yang tidak
setara atau menindas. 'Beradab' berhubungan dengan 'berbudaya', berarti bersikap dan
bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etis dan moral.
Sebagai pengikut Kristus, kita diundang untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan
beradab, dengan mempraktikkan kasih Ilahi. Kita dipanggil untuk menjadikan diri kita
sesama bagi setiap orang (Gaudium et Spes, 27). Setiap orang ini berarti siapapun yang ada
di sekitar kita. Hal ini tidak mudah, terutama karena kita hidup dalam situasi dunia yang
tidak adil. Situasi yang tidak adil membuat kita sulit menjadi sesama bagi semua orang.
Kesenjangan ekonomi, pendidikan, latar belakang sosial adalah contohnya.
Keadilan dalam pelayanan kita, juga berarti memastikan siapapun orang itu mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Mengetahui kebutuhan itu memerlukan
kemauan untuk hadir dalam hidup mereka. Sama seperti yang dilakukan Yesus; ia hadir
dalam hidup seorang buta, seorang kusta, seorang perempuan Samaria, seorang ibu yang
bahkan tak mengimani Allah, dan banyak pribadi lainnya. Apakah kita mempunyai kemauan,
juga kemampuan, untuk hadir dalam setiap peristiwa kehidupan?
Meneladan Bunda Maria untuk Pelayanan yang Makin Adil
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan penilaian, apakah pelayanan kita di Paroki
Tomang - Gereja Maria Bunda Karmel ini sudah adil ataukah belum. Tulisan ini mengajak
kita semua untuk merefleksikan pelayanan tersebut.
Bunda Maria adalah model iman yang dapat membantu refleksi kita. Saat perjamuan kawin
di Kana, ketika tuan rumah kehabisan anggur, Bunda Maria mengetahuinya. Ia pun tergerak
untuk membantu dengan cara meminta bantuan pada Yesus. Sayangnya, Yesus menolak.
Bunda Maria tidak surut karenanya; ia tetap menyuruh pelayan agar menuruti perintah
Yesus. Inilah inspirasi bagi kita: memahami realitas yang terjadi, tergugah karenanya, mau
menanggung sesuatu yang sesungguhnya bukan tanggung jawabnya, mengupayakan
bantuan, serta tetap teguh dan setia kendati mengalami penolakan.
Bunda Maria dapat melakukan itu semua karena spiritualitas kontemplatifnya. Ia kita kenal
dalam Kitab Suci sebagai seseorang yang senantiasa 'menyimpan segala perkara di dalam
hatinya'. Ia tidak reaksioner terhadap orang atau peristiwa. Sebaliknya, terhadap semua hal
yang dihadapinya, ia menempatkannya sebagai suatu penyelenggaraan Allah. Apa yang
Allah kehendaki dari itu semua?
Menjadi bermakna jugalah pengalaman Santa Teresa dari Kalkuta. Ketika ia bersama para
susternya kehabisan beras untuk dimakan, yang mereka lakukan bukanlah segera mencari
sumbangan. Mereka memutuskan untuk berdoa, berusaha memahami kehendak Allah.
Pada hari yang sama, Allah pun memberikan jawaban-Nya. Seseorang datang mengantarkan
beras sehingga mereka dan para gelandangan tidak kelaparan.
Kepada kita pun diserukan panggilan yang sama. Pelayanan kita menjadi adil jika kita
mampu memandang kehidupan dari mata Allah. Melalui kontemplasi, kita akan memiliki
kejernihan dalam memandang persoalan, dan dengan demikian dapat bertindak sebagai
bentuk tanggapan. Bahkan tak hanya menggunakan keadilan manusia sebagai patokan,
namun keadilan Allah yang seringkali melampaui pikiran manusia; sebagaimana seorang
pekerja yang mendapat upah sehari kendati baru mulai bekerja di tengah hari.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |