Sudah Adilkah Aku dalam Keluarga?

 Rob. Punomo  |     15 Apr 2017, 23:02

Cinta dalam keluarga menuntut keadilan. Hadir dalam keluarga saat membutuhkan, tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, kesetiaan, pengampunan, dan penerimaan apa adanya, merupakan ragam wujud keadilan.

Di tengah carut marutnya kehidupan keluarga, dalam masyarakat yang sehari-hari diwarnai perselingkuhan dan pengkhianatan keluarga, serta maraknya berita-berita perceraian, pesan Paus Fransiskus berikut sungguh menyejukan dan memberi secercah sinar harapan pada kembalinya kehangatan berkeluarga. Dan, tentunya kalau pesan berikut ini diikuti.

Pesan Paus Fransiskus tentang Keluarga: "Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna, kita tidak sempurna, tidak menikah dgn orang yg sempurna, kita juga tidak memiliki anak yang sempurna. Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa dengan satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan. Pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional kita dan kelangsungan hidup spiritual. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sakit. Pengampunan adalah sterilisasi jiwa, penjernihan pikiran dan pembebasan hati. Siapa pun yang tidak memaafkan tidak memiliki ketenangan jiwa dan persekutuan dengan Allah. Rasa sakit adalah racun yg meracuni dan membunuh. Mempertahankan luka hati adalah tindakan merusak diri sendiri. Ini adalah Autofagi. Dia yang tidak memaafkan memuakkan fisik, emosional dan spiritual. Itulah sebabnya keluarga harus menjadi tempat kehidupan dan bukan tempat kematian; sebuah tempat penyembuhan bukan tempat penuh dgn penyakit; sebuah panggung pengampunan dan bukan panggung rasa bersalah. Pengampunan membawa sukacita sedangkan kesedihan membuat hati luka. Dan pengampunan membawa penyembuhan, sedangkan rasa sakit menyebabkan penyakit."

Pasti pesan Paus di atas bukan hal baru bagi kita. Namun, marilah kita renungkan sekali lagi. Karena apa? Karena keadaan yang kita dapati sekarang sangat memprihatinkan. Coba Anda tengok berapa banyak perkawinan yang kandas. Sebuah situs mengabarkan bahwa tingkat perceraian di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia dan terus meningkat. Sebuah berita lain mengatakan bahwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tiap hari disidangkan lebih dari 20 - 25 kasus perceraian. Rata-rata setiap jam terjadi 40 perceraian di seluruh Indonesia. Bahkan, di kalangan umat Katolik banyak juga didapati perkawinan yang kandas.

Sabda Kristus yang mengatakan "Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia", makin tidak diindahkan. Mengapa dalam abad kemajuan segala bidang, kehidupan keluarga mengalami kemunduran? Katekismus mengajarkan bahwa Allah mempertemukan laki-laki dan perempuan dan mempersatukannya sebagai suami isteri. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu (Mat 19:6). Bersatu dalam kasih sebagai persatuan Kristus dengan GerejaNya.

Dalam kebebasannya untuk memilih pasangan, kedua insan yang menikah saling berjanji dengan semangat keterbukaan dan tekat untuk setia seumur hidup, kurang lebih sebagai berikut: "Saya memilih engkau menjadi pasangan saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil suci ini."

Namun, manusia tidak lepas dari iri hati, egoisme, cinta kekuasaan, nafsu tak terkendali, perselingkuhan dan kecenderungan merusak relasi lainnya. Manusia lemah. Bisa tergoda dan jatuh. Maka seperti Gereja mempunyai sakramen pengampunan, keluarga juga harus mempunyai semangat kerahiman.

Salah paham, gesekan-gesekan kepentingan dan prioritas tidak jarang berkembang menjadi pertengkaran. Di sinilah, ujian dimulai. Boleh saja saling adu argumen, saling mengingatkan, saling mengkritik, tetapi semangat bersama membina Gereja Kecil yang namanya Keluarga harus dipegang teguh.

Ada pasangan dari paroki kita yang baru-baru ini merayakan perkawinan emasnya. Mereka menceritakan, pertengkaran antara suami isteri itu biasa. Bahkan, merupakan bumbu pernikahan. Yang tidak boleh dilupakan - walaupun sedang saling marah, adalah tetap mengasihi, jujur dan tetap mempertahankan persatuan. Berantem, bukan untuk berpisah, tetapi untuk saling mengenal, saling memahami, dan setelah itu harus saling memaafkan tanpa dendam dan marah.

Ada lagi yang mengatakan pada awal ketika sama-sama muda kalau bertengkar maunya menang sendiri, emosional, bahkan bisa saling mendiamkan sampai lama. Walaupun tidak ada pikiran untuk pisah. Sekarang setelah makin tua, kalau beda pendapat, bertengkar lebih bisa menguasai diri, lebih mau saling mendengarkan, dan memaafkan, sehingga dapat berbaikan kembali dalam waktu singkat.

Ada juga yang berbagi tanggung jawab, siap yang lebih berwenang dalam mengatur rumah tangga, walaupun tetap dibarengi dialog, tetapi yang "kurang berwenang" akan mengalah. Dari sharing-sharing di atas, benang merahnya jelas. Gesekan terjadi, ada emosi terlibat, tetapi tidak boleh memutuskan persatuan. Intinya, mau memahami pasangan.

Mau berbela rasa dengan pasangan hidup. Semangat saling mengasihi dan tetap mengasihi dalam untung dan malang tidak boleh hilang, seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus: "Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa dengan satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan. Pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional kita dan kelangsungan hidup spiritual.Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sakit. Pengampunan adalah sterilisasi jiwa,penjernihan pikiran dan pembebasan hati."

Pasangan kita telah memilih keluar dari keluarganya, untuk meninggalkan kebebasannya dan mengikatkan diri dalam pernikahan dengan kita. Sudah layak dan sepantasnya bila kita selalu hadir di sisinya. Kadang kita berdalih, aku tidak meninggalkan kewajibanku. Rasio kita berbicara, kita tetap ada komitmen dan janji.

Tetapi, jangan lupa bahwa cinta itu sering tidak rasional. Emosi tidak gampang di paksa atau diatur. Cinta menuntut kehadiran, menuntut perhatian, menuntut komunikasi. Bukan sekadar "dia tahu aku ada untuk dia." Bila tidak di pelihara, cinta mungkin terlena.

Ingatkan Anda akan teman-teman sekelas Anda dahulu? Ada yang ingat ada yang lupa. Yang kita ingat ternyata mereka yang sering bersama kita, mereka yang sering berbicara, berelasi dengan kita. Yang sekedar kenal, tidak kita ingat. Hal ini juga terjadi pada pasangan kita. Relasi kita dengan mereka akan merenggang bila tidak di pelihara dengan kehadiran dan kedekatan. Dan, kita telah mengingkari keadilan bila tidak ada di sisinya saat dibutuhkan.

Maka sempatkan waktu untuk bersama, bersama pasangan, bersama anak. Bersama dalam arti seluas-luasnya. Jangan sampai kita bersama, tetapi masing-masing tenggelam dalam keasikan ber"chatting-ria" atau tenggelam dalam hobi masing-masing.

Jangan sampai kita "sendiri" dalam kebersamaan. Tidak bisa berbicara terbuka, dari hati kehati. Tidak penting kalau dalam kebersamaan itu kita hanya mengobrol santai saja, atau bermain bersama melakukan kegiatan-kegiatan yang tiada guna.

Sebenarnya, yang terjadi bukan macam kegiatannya, tetapi kebersamaan dan kehadiran dengan memberikan perhatian total itu yang sangat bernilai dan bermanfaat. Tidak cukup melakukan hal-hal itu adalah ketidakadilan terhadap pasangan dan keluarga kita karena mengingkari hak pasangan kita. Itu semua tidak bisa gampang ditebus dengan karya pelayanan atau aktivitas positif di luar relasi berkeluarga lainnya.

Bagaimana dengan kita?

Lihat Juga:

Fokus (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi