MGR. Ignatius Suharyo: Adil Terhadap yang Paling Lemah

 Sigit Kurniawan  |     15 Apr 2017, 23:34

Apakah kita sudah adil dan beradab terhadap orang-orang yang di posisi paling lemah,

miskin, dan tersingkir di sekitar kita? Entah di jalan, kantor, keluarga, paroki, sekolah,

maupun lingkungan sosial kemasyarakatan?

Oleh Sigit Kurniawan

Gereja Katolik berkomitmen untuk selalu berpihak pada yang paling lemah dan

tersingkirkan. Pilihan yang mendahulukan mereka yang lemah dan miskin (preferential

option for the poor) dan berjuang bersama-sama dalam mengangkat martabat

(preferential option with the poor) selalu menjadi concern dari Gereja Katolik. Dan,

karena konteks inilah Gereja hadir dan berziarah bersama suka duka umat manusia di

dunia ini.

Dalam cara pandang itulah, tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) Keuskupan Agung

Jakarta (KAJ) 2017 "Makin Adil Makin Beradab" mau diwujudkan. Dalam

wawancaranya dengan Warta Minggu, Uskup Agung KAJ Mgr. Ignatius Suharyo

menekankan agar pengamalan semangat tersebut lebih memerhatikan mereka yang

paling lemah dan tersingkirkan. Makin adil dan makin beradab dimaknai bagaimana kita

makin adil dan makin beradab terhadap orang-orang yang lemah, miskin, dan

tersingkirkan.

"Jadi yang paling penting adalah penegasan bersama tersebut. Kalau saya ditanya,

saya mau mengatakan begini. Salah satu ciri dan ini bukan satu-satunya, yakni ketika

orang yang paling lemah, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat, menjadi

pihak yang paling dihargai. Ini bisa sangat konkret sekali," kata Uskup Suharyo.

Uskup Suharyo mencontohkan peradaban di negara maju. Di sana, misalnya,

khususnya di jalan raya, yang paling dihormati adalah para pejalan kaki. Kalau ada

pejalan kaki yang mau menyeberang jalan, mobil sebesar apa pun akan berhenti demi

mendahulukan para pejalan kaki. Di balik itu, ada kesadaran bahwa keselamatan itu

harus diperjuangkan.

Sementara itu, di kota-kota besar seperti Jakarta, tak jarang budaya mendahulukan

yang paling lemah kurang diperhatikan. Banyak kota yang tidak memiliki trotoar. Kalau

ada trotoar pun, banyak yang merusak fungsinya seperti dengan menjadikannya tempat

berjualan, tempat menerobos sepeda motor saat macet, maupun kondisi trotoarnya

rusak berat dan membahayakan keselamatan pejalan kaki.

"Semakin beradab berarti berusaha semakin menghargai orang tidak berdasarkan

status sosial ekonomi politik apa pun, tetapi berdasarkan martabatnya sebagai

manusia. Dan, saudara-saudara kita yang paling lemah yang harus paling mendapat

perhatian dari hal ini. Ini salah satu tanda kemajuan peradaban," kata Monsinyur.

Untuk skala paroki, Monsinyur mengundang paroki-paroki untuk mendahulukan

pelayanan kepada para umat penyangdang disabilitas. Uskup melontarkan pertanyaan

reflektif, seperti apakah paroki sudah menyediakan sarana yang mendukung mereka

untuk beribadah atau apakah umat sudah merasa nyaman bila mereka juga dilibatkan

dalam tugas-tugas liturgi. Uskup mencontohkan mereka yang buta mendapat

kesempatan menjadi lektor dan paroki menyediakan sarana braille.

"Pasti pembacaannya tidak lancar seperti seorang penyiar televisi. Tetapi, itulah salah

satu tanda bahwa kita menghargai mereka," kata Monsinyur.

Sikap beradab lainnya yang bisa diwujudkan dalam langkah-langkah sederhana, antara

lain tertib lalu lintas. "Coba kalau semua orang membuat komitmen untuk tertib lalu

lintas seperti berhenti saat lampu merah, negara kita pasti akan cepat sekali majunya.

Mengapa? Karena lalu lintas itu cermin watak Bangsa. Kalau kita wataknya semerawut

ya itu tercermin di lalu lintas," kata Uskup.

Hal yang sama juga diusung dalam semangat keadilan. Monsinyur mengatakan, adil

bisa diartikan dalam banyak makna. Adil itu, sambung Monsinyur, bisa menjadi konsep

tapi juga bisa mewujud dalam tindakan yang sangat jelas. Ada banyak langkah konkret

yang bisa dilakukan umat dalam melatih diri untuk semakin adil.

"Datang tepat pada waktunya itu salah satu contoh konkret dalam sikap adil. Tidak

sengaja menjadi seorang yang suka datang terlambat yang dianggap sebagai orang

penting. Adil di sini bisa diartikan mampu menghargai pengorbanan orang lain. Orang

lain sudah mengorbankan waktunya dan jangan sia-siakan mereka untuk menunggu

kita," katanya.

Selain itu, praktik semakin adil juga bisa diwujudkan dalam proses pembagian sesuatu.

Uskup memberi ilustrasi dengan sebuah roti yang akan dibagi untuk dibagikan kepada

empat orang. "Dalam hal ini, saya tidak boleh mengambil duluan karena saya yang

membaginya. Biarkan orang lain menerima lebih dulu. Kecenderungannya, yang paling

besar itu untuk yang bertugas membagi. Ini tidak adil," kata Monsinyur.

Keadilan di paroki juga tampak dalam penghargaan kepada para karyawan paroki.

Penghargaan ini bukan sekadar pemberian hadiah-hadiah, tetapi penghargaan pada

upaya mereka memberikan tenaga untuk bekerja di paroki.

"Kalau Gereja mau sungguh-sungguh mau berlaku adil kepada karyawan-karyawannya,

langkahnya bisa konkret. Bagaimana sistem gaji dan renumerasi di paroki itu sungguh-

sungguh diperhitungkan. Tapi, saya kira yang paling bagus dan penting adalah

komunitas-komunitas setempat berbicara bersama-sama untuk merancang tindakan-

tindakan konkret yang bisa dilakukan," katanya.

Setia Amalkan Pancasila

Secara khusus, Bapak Uskup juga merilis surat gembala prapaskahnya dengan tema

serupa dengan penekanan pada pengamalan Pancasila. Surat gembala ini dibacakan

sebagai pengganti kotbah pada misa di seluruh paroki di KAJ pada 26 Februari yang

lalu.

Bapak Uskup menegaskan kembali panggilan mengamalkan Pancasila yang

merupakan Arah Dasar KAJ periode 2016-2020. Di surat gembala itu, Mgr. Suharyo

mengatakan, hendaknya umat KAJ bersyukur karena memiliki Pancasila sebagai

sebuah kesadaran dan cita-cita moral bangsa. Tetapi, ia juga mengungkapkan

keprihatinannya atas makin lunturnya cita-cita mulia tersebut.

Lunturnya cita-cita mulia tersebut terlihap pada fenomena maraknya tindakan

fundamentalisme agama, intoleransi, maraknya kekerasan dan perdagangan manusia,

serta terancamnya persatuan dan persaudaraan akibat isu-isu SARA. Selain itu, Bapak

Uskup juga prihatin karena kebaikan bersama tersingkir akibat kepentingan golongan

dan keserakahan membuat keadilan sosial sulit terwujud.

Di surat itu, Bapak Uskup juga mengajak umat untuk membangun gerakan solidaritas

yang mengarah pada gerakan suka menolong. "Ada berbagai contoh yang dapat

ditawarkan yang dapat langsung dijalankan. Kreativitas juga sangat mungkin dihasilkan

dengan menjawab pertanyaan, apa yang dapat kita lakukan agar lingkungan sekitar,

keluarga, Gereja, dan masyarakat serta media sosial kita semakin adil dan beradab,"

tulisnya.

Bagaimana dengan kita?

Lihat Juga:

Fokus (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi