Merindukan Nilai Keadilan di Sekolah
Paul Heru Wibowo | 15 Apr 2017, 23:31
Keadilan harus dipraktikkan di mana pun, termasuk di lingkungan sekolah. Apakah sekolah-
sekolah Katolik sudah menerapkan prinsip keadilan ini?
Oleh Paul Heru Wibowo
Di samping keluarga, institusi pendidikan seperti sekolah kerap dianggap sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas penanaman dan penghayatan nilai-nilai kehidupan. Salah satu nilai
yang dipandang perlu untuk dihayati para guru dan siswa adalah nilai keadilan. Nilai ini,
sayangnya, justru diabaikan karena dianggap tidak lebih penting daripada nilai-nilai lain
seperti kedisplinan, ketekunan, atau ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Nilai keadilan kerap dipersepsi sebagai bagian dari ranah politik atau hukum yang dijalankan
pemerintah sehingga tidak dikembangkan dalam kehidupan sekolah. Padahal keadilan,
menurut saya, merupakan nilai mendasar yang perlu dimiliki oleh setiap orang, termasuk para
guru dan siswa di sekolah.
Nilai keadilan sebagai sebuah konsep mungkin diajarkan dalam mata pelajaran seperti
Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana disyaratkan oleh kurikulum yang berlaku. Akan
tetapi, sebagai sebuah aksi dan praktik sehari-hari, nilai tersebut tidak terealisasi secara
konkret. Inilah penyebab utama mengapa praktik pendidikan yang dijalankan di negara ini
cukup memprihatinkan. Minimnya nilai keadilan yang diterima para guru dan siswa di dalam
lingkungan sekolah menjadi bukti bahwa nilai tersebut belum menjadi prioritas utama.
Sebagai pendidik, saya melihat bahwa baik guru maupun siswa memiliki hak yang
sewajarnya untuk mengalami makna keadilan yang sesungguhnya. Kendati makna keadilan
dapat dipahami secara berbeda dan dalam konteks yang beragam, saya tetap memandang
bahwa nilai keadilan selalu bermuara pada prinsip penting, yaitu penghargaan manusia
sebagai citra Allah. Baik guru maupun siswa adalah citra Allah yang hak-haknya perlu
dijunjung tinggi. Jika prinsip ini diabaikan oleh salah satu pihak, penyelenggara sekolah, atau
pemerintah, dapat dipastikan bahwa nilai-nilai lain seperti kedisplinan, kejujuran, ketekunan,
atau ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa tidak memiliki pondasi yang teguh dan kuat.
Selama ini saya melihat bahwa nilai keadilan bagi siswa dapat diaplikasikan dalam tiga hal.
Pertama, setiap siswa berhak memperoleh pengajaran dan pendidikan yang bermutu.
Penilaian atau evaluasi yang objektif terhadap siswa mutlak diberikan. Umpan balik yang
mendidik pun perlu diupayakan agar setiap siswa dapat termotivasi untuk belajar lebih giat,
bukan justru mengalami learning fatigue (lelah belajar). Karena hal itu pula, evaluasi seperti
Ujian Nasional yang dilakukan secara seragam di negeri ini jelas tidak mencerminkan nilai
keadilan. Bagaimana mungkin kemampuan matematika siswa yang berada di wilayah pesisir
pantai harus diukur sama seperti siswa yang berada di wilayah perkotaan?
Kedua, siswa berhak memperoleh perlakuan yang manusiawi. Setiap institusi pendidikan
harus memperlakukan para siswa dengan adil, tanpa pembedaan ras, warna kulit, agama, dan
kondisi tubuh dan mentalnya. Bullying atau perundungan menjadi tindakan yang diharamkan
karena dominasi yang kuat atas yang lemah atau pihak mayoritas atas pihak minoritas sama
sekali bukan menjadi tujuan dari pendidikan yang sejati. Pendidikan yang baik tidak akan
menoleransi bercokolnya hukum rimba dalam masyarakat modern.
Ketiga, setiap siswa berhak memperoleh kesempatan untuk berprestasi. Sistem kategorisasi
kelas yang memisahkan mereka yang dianggap pandai dan mereka yang dianggap bodoh
merupakan hal yang kerap terlihat di sejumlah sekolah unggulan. Dengan dalih penangkaran
para bintang kelas, mereka yang dianggap bodoh disisihkan secara sistematis. Menurut saya,
hal demikian merupakan tindakan diskriminatif yang cukup keji! Para pendidik konstruktivis
mengatakan bahwa setiap siswa perlu dipandang sebagai pribadi yang unik karena setiap
mereka adalah bintang yang dapat bersinar terang kelak.
Sementara itu, nilai keadilan yang dapat diaplikasikan bagi para guru dapat dinyatakan dalam
tiga hal. Pertama, setiap guru berhak untuk mengembangkan profesionalitasnya.
Permasalahan zaman yang semakin kompleks menuntut guru untuk terus belajar dan
mengembangkan dirinya. Namun, faktanya, banyak penyelenggara sekolah yang dengan
sengaja menghambat kemajuan profesional para gurunya. Mereka dipaksa untuk menjadi
buruh dengan jam kerja yang padat dan tanggung jawab yang begitu kompleks.
Pengembangan profesionalitas hanya menjadi impian belaka.
Kedua, setiap guru berhak untuk memperoleh kesejahteraan yang memadai melalui upah dan
gaji kerjanya. Profesi guru memang tidak dapat disamakan dengan profesi pedagang. Guru
adalah sebuah panggilan hidup untuk melayani. Kendati begitu, guru pun berhak untuk
memiliki kesejahteraan yang baik. Bagaimana mungkin ia dapat memberikan pengajaran
yang baik, jika ia masih memikirkan minimnya gaji untuk memenuhi kebutuhan gizi
anaknya? Program sertifikasi guru yang dijalankan pemerintah memang telah menjadi solusi
atas persoalan ini. Diharapkan, program demikian dapat memacu semangat guru untuk
meningkatkan kesejahteraan dan mutu pengajarannya. Sayangnya, program tersebut justru
berubah menjadi sarana konsumerisme bagi para guru untuk beradaptasi dengan gaya hidup
masyarakat. Padahal ada begitu banyak guru yang masih harus berjuang dalam keprihatinan
sehari-hari.
Ketiga, setiap guru berhak untuk mendapat perlakuan yang manusiawi. Pada masa lalu, guru
adalah sosok kharismatis yang sangat dihormati anak didiknya. Setiap petunjuk yang
diberikannya menjadi semacam petuah yang bermakna. Orang tua saya bahkan menasihati
agar saya harus mematuhi apa yang diperintahkan oleh guru meski apa yang diperintahkan itu
tidak sesuai dengan pandangan kita. Akan tetapi, pada saat ini, guru dapat dipersalahkan dan
bahkan dipidana oleh wali murid kendati apa yang dilakukannya merupakan upaya untuk
menanamkan nilai dan keutamaan kepada siswa. Beberapa berita terakhir menunjukkan
betapa rentannya perlindungan hukum bagi guru. Kendati merupakan sebuah profesi, sampai
saat ini guru belum memiliki payung hukum yang jelas.
Absennya nilai keadilan dalam perilaku sehari-hari di sekolah seringkali belum menjadi
pengamatan yang serius. Ketiga hal yang dialami baik oleh guru maupun siswa menunjukkan
bahwa institusi pendidikan kerap bersifat paradoks. Di satu sisi pihak sekolah berupaya untuk
menjadi pusat pengajaran, pendidikan, dan penanaman nilai serta keutamaan. Akan tetapi, di
sisi lain, pihak sekolah juga kerap menjadi sumber terjadinya diskriminasi dan perlakuan lain
yang mencederai hak asasi masyarakat yang berada di dalam komunitasnya. Merindukan nilai
keadilan di sekolah, kiranya, bukanlah hal yang muluk untuk dilakukan.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |