Katekese yang Membebaskan
Yeremias Jena | 15 Apr 2017, 22:59
Tantangan katekese zaman sekarang adalah bagaimana katekese ini juga mengusung nilai transformasi dan memerdekakan orang yang menerima katekese tersebut. Seperti apa?
Tentang panggilan dan keputusan menjadi pengikut Kristus, Paus Benediktus XVI menulis dalam ensiklik Deus Caritas Est: "Menjadi orang Kristen bukanlah hasil dari sebuah pilihan etis atau [hasil dari] sebuah pemikiran yang mulia, tetapi sebuah perjumpaan dengan sebuah peristiwa, seseorang, yang memberikan kepada hidup sebuah horizon yang baru dan sebuah arah yang tepat" (Art 217).
Dikontekskan dalam pengajaran para katekis dalam mempersiapkan para calon baptis, misalnya, kata-kata Benediktus XVI ini menjadi relevan sekaligus mendesak. Seorang katekumen memutuskan menjadi Katolik pertama-tama bukan karena pengajaran seorang katekis yang hebat, luar biasa, sangat akademis, terstruktur dengan memanfaatkan berbagai pendekatan keilmuan.
Keputusan itu diambil karena seorang katekumen berjumpa dan mengalami perjumpaan langsung dengan sebuah kejadian, berjumpa dengan seseorang, dan perjumpaan itu memberikan kepadanya cara pandang yang baru, cara mengolah hidup yang berbeda, dan orientasi baru kemana dia harus mengarahkan hidupnya.
Itu tidak berarti bahwa katekese tidak perlu dipersiapkan secara baik. Bukan itu maksudnya. Katekese tetap harus dipersiapkan secara baik. Materi-materi pelajaran harus dikuasai, berbagai pendekatan dan metode pembelajaran seharusnya bisa diaplikasikan. Tetapi itu saja tidaklah cukup. Pengajaran atau katekese yang baik tidak cukup hanya menyentuh dan memperluas pengetahuan, tetapi juga harus menyentuh hati.
Dalam konteks inilah dapat dikatakan bahwa setiap katekis selalu berhadapan dengan semacam dilema. Di satu pihak, dia harus memastikan kebenaran ajaran iman dan tradisi gereja yang sudah berusia ribuan tahun tanpa jatuh ke dalam bidaah atau salah tafsir tertentu. Sementara, di lain pihak, seorang katekis ditantang untuk menjadikan pengajarannya sebagai kesempatan untuk bertemu dan mengalami Kristus sendiri.
Seluruh diskursus mengenai katekese yang membebaskan menyentuh persoalan ini: bagaiamana menyeimbangkan aspek doktrin dalam berkatekese dengan katekese sebagai kesempatan untuk mengalami kehadiran Yesus sebagai Pribadi yang menyapa dan yang mengajak setiap katekumen untuk mengikuti Dia.
Mengajarkan Doktrin Kristiani
Harus diakui, sejak terbitnya Katekismus Gereja Katolik (1992), Gereja berusaha menetapkan semacam standar bagi karya pewartaan katekesis. Standardisasi ini berimplikasi pada kebutuhan akan para katekis yang bermutu. Gereja-gereja lokal pun berinisiatif menyelenggarakan pendidikan bagi para katekis, baik formal pada jenjang sarjana dan pasca sarjana maupun kursus dan berbagai pelatihan informal.
Tidak mengherankan, para katekis pun disertifikasi setelah mengikuti program pendidikan dan pelatihan tertentu. Berbagai pendekatan dalam pembelajaran, bermacam ragam metode pengajaran, pengetahuan teologi dasar, kitab suci, liturgi, berbagai praktik doa dan devosi, dan sebagainya telah menjadi materi yang harus dikuasai.
Tidaklah salah jika seorang katekis memiliki keahlian di bidangnya. Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae mengaskan hal ini secara eksplisit. Seruan apostolik ini menegaskan bahwa seorang katekis tidak bisa memilih materi mana yang ingin dia ajarkan dan menolak mengajarkan materi lainnya. Katekis harus mengajarkan doktrin atau ajaran iman Gereja dalam keutuhannya, dan itu meliputi materi penciptaan dan dosa manusia, rencana penebusan Allah, penjelmaan Putra Allah, Santa Perawan Maria dan kedudukannya dalam seluruh rencana keselamatan Allah, kedosaan manusia dan kekuasaan Allah, pentingnya pertobatan dan ulahtapa, sakramen dan liturgi, realitas kehadiran Kristus dalam Ekaristi, partisipasi manusia dalam kehidupan Ilahi, baik dalam membangun dunia saat ini maupun kehidupan kekal di surga (Art. 30). Materi-materi ini harus mampu diajarkan dengan menerapkan berbagai pendekatan, metodologi, dan diskusi akademis dari berbagai ilmu pengetahuan manusia (Art. 31).
Dengan begitu, pengajaran seorang katekis terarah kepada upaya memastikan bahwa isi dan inti ajaran Katolik dibangun di atas dasar yang kokoh (Robert Brancatelli, Liberating Catechesis: a call for imagination and renewal, 2010: 2-3).
Selain itu, pengajaran isi iman yang utuh menegaskan dimensi akal yang mencari pemahaman yang mendalam dalam misteri Allah, bahwa iman Katolik sejatinya adalah apa yang dikatakan Santo Anselmus dari Canterbury sebagai "iman yang mencari pengertian" (fides quaerens intellectum).
Meskipun begitu, peringatan Paus Benediktus XVI di atas pantas diperhatikan lagu. Menjadi Katolik bukanlah sebuah pilihan etis, tetapi sebuah pertobatan hati karena pengalaman perjumpaan secara pribadi dengan Kristus. Bagaimana para katekis menyikapi hal ini?
Hati Sebagai Ruang Dialog
Berbagai usul dapat diajukan di sini. Robert Brancatelli yang tulisannya kami acu disini mengusulkan agar dimensi imajinasi hendaknya diberi tempat dalam katekese. Usulan ini menarik untuk dipertimbangkan sebagai semacam "penawar" terhadap pengajaran yang terlalu doktriner dan akademis. Demikianlah, imajinasi dapat dipupuk melalui penggunaan berbagai simbol ketika mengajarkan ekaristi, sakramen, doa, atau ketika memperkenalkan museum atau bangunan gereja tertentu.
Imajinasi juga pantas diperhatikan ketika para katekumen mengidentifikasi diri dengan tokoh tertentu dalam Kitab Suci, dalam sejarah gereja, dan semacamnya. Intinya, imajinasi mampu mengubah katekese yang terlalu doktriner kepada dialog dan keterbukaan hati bagi kehadiran Kristus melalui berbagai peristiwa, simbol, kisah dan tokoh, dan sebagainya. Imajinasi yang berhasil akan sangat membantu seorang katekumen mendialogkan pengalaman dan kerinduan hatinya dengan peristiwa Yesus.
Paus PaulusVI menekankan kasalehan umat sebagai elemen penting dalam pewartaan dan katekese. Mengikuti pemahaman Paus Fransiskus, kesalehan umat yang dimaksud adalah bagaimana umat Katolik menghidupi secara setia dan khas (inkulturatif) isi ajaran Katolik sebegitu rupa sehingga menjadi pesona dan daya tarik bagi katekumen untuk mengenal dan mengikuti Kristus (Evangelii Gaudium, Art. 122). Selain itu, penting juga diperhatikan apa yang dikatakan Paus Fransiskus sebagai "dialog pribadi" (Evangelii Gaudium, Art. 128).
Dalam dan melalui doalog pribadilah seorang katekumen mengkonfrontir seluruh kekhawatirannya, harapan dan kecemasannya, keragu-raguannya, kemarahannya, dan sebagainya dengan peristiwa Yesus dan membuka diri bagi sebuah pengalaman perjumpaan dengan Kristus sendiri.
Singkatnya, katekese yang baik adalah katekese yang tidak hanya bertumpu pada pengajaran isi dan doktrin Gereja Katolik. Katekese yang baik harus juga memberi ruang dialog, ruang olah batin dan perjumpaan pribadi dengan Pribadi Yesus yang memanggil. Pribadi katekis yang pengalaman pribadi perjumpaan dengan Allah yang sangat mendalam dapat menjadi elemen penting dalam memupuk perjumpaan katekumen dengan Kritus. Aspek kesalehan umat dan kehadiran gereja Katolik sendiri sebagai lembaga yang menghadirkan Kristus secara nyata di dunia pun mendukung upaya dialog pribadi katekumen ini.
Akhirnya katekese yang membebaskan dimaksudkan sebagai katekese yang di satu pihak membantu para katekumen semakin mengenai ajaran Kristus dan gereja-Nya secara utuh dan solid, tetapi di lain pihak, menjadi kesempatan untuk mengalami sapaan dan perjumpaan Allah secara pribadi. Di kedua simpul inilah setiap katekis ditantang untuk memaknakan dan menjalankan panggilannya sebagai pewarta gerejani.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |