Jangan Hanya Menjadi Penikmat Keadilan

  16 Apr 2017, 23:44   |  

Makin adil, makin beradab itu bukanlah frasa pasif. Di situ terkandung semangat aktif

 

untuk memperjuangkan keadilan dan keadaban. Kita dipanggil menjadi pejuang

keadilan sebagai ekspresi iman, bukan sekadar penikmat, apalagi pelaku ketidakadilan.

Oleh Sigit Kurniawan

Ada yang lain dengan sampul Warta Minggu edisi Paskah kali ini. Edisi ini tak lagi

menampilkan ikon Paskah, seperti kubur kosong, sosok Yesus yang bangkit, salib

dengan selendang putih, atau ikon Paskah lainnya. Tapi, sampul WM yang sedang

Anda baca ini mengangkat para petani Kendeng yang menyemen kakinya di depan

istana.

Apa hubungannya dengan Paskah dan Gereja Maria Bunda Karmel? Secara ringkas,

para petani Kendeng, Jawa Tengah, itu melakukan aksi menyemen kakinya sebagai

bentuk protes terhadap penerbitan izin baru penambangan dari Gubernur Jawa Tengah

Ganjar Pranowo kepada perusahaan Semen Indonesia. Keberadaan dan proses

penambangan dinilai mengancam lingkungan pertanian di kawasan Kendeng.

Perjuangan petani Kendeng ini sudah berlangsung sekian lama. Mereka berjuang tak

hanya demi kelestarian alam, tapi juga masa depan anak cucu mereka yang hidupnya

ditopang dari pertanian.

Dalam aksi pada pertengahan Maret lalu, salah satu petani Kendeng, Patmi (48),

meninggal dunia karena jantung. Meninggalnya salah satu "Kartini" dari Kendeng ini

justru makin mengobarkan spirit perjuangan para petani Kendeng itu untuk

menyelamatkan lingkungan mereka. Gelombang aksi solidaritas terhadap perjuangan

petani Kendeng melawan korporasi itu pun mengalir dari berbagai daerah di Indonesia,

termasuk dari luar negeri.

Apa yang dilakukan oleh para petani Kendeng itu tak lain adalah perjuangan dalam

meraih keadilan. Keadilan ini bukan sekadar ditunggu, tapi diperjuangkan. Keadilan

bukan kado dari kebaikan seseorang atau negara atau perusahaan, tetapi keadilan

yang diperjuangkan. Petani Kendeng itu bukan sekadar memperjuangkan keadilan bagi

mereka sendiri, tapi juga bagi kelestarian lingkungan, masa depan anak cucu mereka,

dan kehidupan yang bertumpu pada pertanian. Bahkan, Uskup Agung KAJ Mgr.

Ignatius Suharyo sendiri menyempatkan datang ke tenda-tenda para petani Kendeng di

depan istana sebagai bentuk dukungan moral.

Aksi mereka juga menjadi contoh nyata bahwa keadaban itu juga harus diperjuangkan.

Khususnya keadaban pada lingkungan. Para petani Kendeng inilah contoh nyata

bagaimana menghidupi semangat "Makin Adil, Makin Beradab" - semangat yang kita

coba hidupi selama masa Prapaskah.

Mungkin tak banyak pembaca di MBK yang tahu tentang Kendeng. Letaknya jauh di

Jawa Tengah dan jauh dari ingar bingar perkotaan seperti Jakarta ini atau jauh dari

adem ayem paroki kita. Tapi, aksi mereka menjadi contoh bahwa ketidakadilan dan

ketidakadaban itu masih ada di bumi Indonesia. Apa yang bisa kita petik dari

perjuangan para petani Kendeng ini?

Jawabannya ada di judul pengantar fokus kali ini, yakni jangan hanya menjadi penikmat

keadilan. Istilah "penikmat keadilan" ini didapatkan ketika Redaksi WM mewawancarai

Romo Sigit Prasadja SJ, Ketua Komisi PSE KAJ dan Direktur Lembaga Daya Darma

(LDD) yang juga menjadi anggota tim perumus dari renungan APP 2017 "Makin Adil,

Makin Beradab" ini.

APP yang kita jalani memanggil kita untuk bukan menjadi penikmat keadilan saja, tetapi

pejuang keadilan. Lebih parah jika kita justru menjadi pelaku ketidakadilan. Makin adil

dan makin beradab itu bukan frasa pasif, tetapi aktif. Ada yang harus dilakukan akan

hidup, tindakan, dan situasi tempat kita berada makin adil dan makin beradab. Keadilan

dan keadaban ini pula yang pada zaman dulu diperjuangankan Yesus dan yang

sekarang masih berlangsung melalui GerejaNya. Perjuangan keadilan dan keadaban ini

merupakan bagian tak terpisahkan dari iman kepada Yesus. Dan, ini yang ditegaskan

kembali dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG).

Mulai dari Hal Kecil

Untuk menjadi pejuang keadilan, kita tak harus menjadi seperti para petani Kendeng

tersebut. Kita bisa memulainya dalam hal-hal kecil dan sederhana. Kita tidak harus

turun ke jalan, tapi kita bisa memulainya dari lingkungan terdekat kita sehari-hari,

seperti keluarga, sekolah, kantor, lingkungan, komunitas, paroki, dan sebagainya.

Sebab itu, edisi kali ini, Warta Minggu memuat topik-topik keadilan dalam konteks yang

paling sederhana - dari keluarga, sekolah, hingga pelayanan menggereja. Bahkan,

Mgr. Suharyo sebagai salah satu narasumber edisi ini memberikan contoh-contoh

keadilan yang sangat sederhana, seperti bagaimana membangun keadilan di jalan

raya, dalam rapat, dan tugas-tugas liturgi. Ia mengundang paroki-paroki untuk

melibatkan umat peyandang disabilitas dalam tugas-tugas liturgi.

Di edisi ini, juga ada sosok Maria Sumarsih, umat Paroki Maria Kusuma Karmel yang

anaknya ditembak mati aparat negara saat Tragedi Semanggi I tahun 1998 di halaman

kampus Atmajaya. Satu benang merah dari pelopor aksi diam Kamisan ini adalah

kesedihan dan dukacitanya telah bertransformasi menjadi tekad kuat memperjuangkan

keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Aksi Sumarsih juga dilandasi

sebagai perwujudan iman Katolik dan janji baptisnya untuk mendukung gerakan

penghormatan pada HAM.

Selamat membaca halaman per halaman edisi Paskah ini. Semoga edisi ini membantu

kita untuk makin adil dan makin beradab dalam kehidupan kita sehari-hari.

Pertanyaannya, apakah kita saat ini sudah menjadi pejuang keadilan? Atau sekadar

penikmat keadilan? Atau malah pelaku ketidakadilan?

Selamat Paskah!

Lihat Juga:

Fokus (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi