Jalan Sunyi Keadilan Maria Sumarsih
Sigit Kurniawan | 15 Apr 2017, 23:35
Perempuan yang anaknya ditembak mati oleh aparat negara ini masih setia berjuang di jalan sunyi untuk mendapatkan keadilan. Aksinya menggerakkan para korban pelanggaran HAM berat masa lalu tak lelah untuk berjuang.
Oleh Sigit Kurniawan
Pada Jumat, 13 November 1998, anaknya ditembak mati oleh aparat negara di sekitar kampus Universitas Atmajaya dalam tragedi yang disebut dengan Tragedi Semanggi I. Saat itu, anaknya turut dalam aksi demonstrasi mahasiswa menentang Sidang Istimewa MPR.
Mendengar anaknya, Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), hidup Maria Sumarsih seolah berhenti. Sampai akhirnya, pengalaman duka itu bertransformasi sedemikian rupa menjadi tekad kuat untuk memperjuangkan keadilan. Khususnya, memperjuangkan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang dilakukan oleh negara.
Maria Sumarsih masih ingat betul apa yang dikatakan oleh Kardinal Julius Darmaatmadja SJ saat memimpin misa requiem untuk anaknya. "Saya ingat betul, bapak Kardinal mengatakan Wawan ditembak mati di halaman kampusnya saat menolong seorang korban yang juga ditembak. Saat itu, ia juga sedang mengenakan kartu identitas Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Tentunya, sebagai ibunya, saya ingin tahu siapa dan kenapa Wawan ditembak mati," ujar Maria kepada Warta Minggu di rumahnya di kawasan Meruya, Jakarta Barat.
Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan, DPR sudah membentuk pansus, tapi kenyataannya Indonesia sebagai negara hukum, hukum di Indonesia tampak tak konsisten dalam pelaksanaannya. Bahkan, undang-undang yang mengatur penyelesaian pelanggaran HAM berat, yakni UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM justru dipakai untuk melindungi para pelaku pelanggaran HAM.
Di tengah realitas itu, Sumarsih masih terus merajut harapan besar. Ia optimistis, perjuangannya mencari keadilan dengan para korban lainnya tak akan sia-sia. "Kebenaran itu bersinar. Saya merasa, perjuangan sesulit apa pun, tapi ketika itu benar, ibarat nyala lilin, nyala lilin ini tidak pernah padam. Saat saya berada di lorong sempit, cahaya terang selalu menyinari langkah saya," kata Sumarsih.
Salah satu yang menguatkan langkahnya adalah imannya pada Tuhan Yesus. Baginya, Yesus yang lebih dulu memperjuangkan cinta kasih dan keadilan dan dibunuh lalu bangkit itu senantiasa mencintainya.
Iman yang Hidup
Dalam pengharapan itu, sambung Sumarsih, imannya pada Tuhan Yesus juga diperkuat. Ia merasakan saat ia berada dalam kesusahan, Yesus senantiasa memberikan bahu untuk menopang salib yang dianugerahkan kepadanya.
"Ini yang membuat saya merasa tahan uji. Di sini, juga ada ketekunan dan harapan yang selalu saya pelihara dalam memperjuangkan Hak Azasi Manusia. Saya merasa selalu ada jalan yang bisa saya lewati untuk memperjuangkan itu, yakni cinta. Saya mencintai Wawan, saya mencintai sesama manusia, khususnya orang-orang yang menjadi korban. Dan, duka cita saya kami keluarga korban sudah bertransformasi di dalam perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum yang merupakan salah satu agenda reformasi yang diperjuangkan Wawan dan kawan-kawannya," katanya.
Tak Pernah Berpisah
Meski Wawan sudah meninggal 19 tahun silam, Sumarsih merasa tak pernah ditinggalkan oleh anaknya itu. Bahkan, sampai sekarang, Sumarsih senantiasa menyediakan piring di meja makan khusus untuk Wawan. Sumarsih mengenang Wawan sebagai sosok yang terbuka dan sangat peduli pada permasalahan sosial kemasyarakatan.
Pada tahun 1998, misalnya, saat terjadi kekerasan pada periode 13-14 Mei, Wawan turut mendampingi para korban kekerasan. Sosok Wawan adalah sosok yang periang dan mampu memecahkan kebekuan suasana, baik di rumah maupun sekolah. Ia juga senang diajak diskusi. Artinya, apa yang dia lakukan setiap hari, dikomunikasikan pada orang tuanya. Wawan juga doyan menulis yang bernada mengkritik kelaliman pemerintahan kala itu.
"Saya pernah melarang Wawan berdemonstrasi dan menganjurkan dia untuk menggelar diskusi dan dialog antarmahasiswa dan penguasa. Bisa dibayangkan, bagi para ibu saat itu, penembakan mahasiswa Trisakti itu cukup menakutkan. Dan, itu kemudian terjadi pada saya," katanya mengenang.
Aksi Diam Kamisan
Salah satu langkah nyata perjuangan Sumarsih untuk menuntut keadilan pada negara adalah dengan menggelar aksi diam dengan payung hitam setiap Kamis pukul empat sore di depan Istana Negara. Aksi ini dikenal dengan nama Aksi Kamisan. Aksi ini digelar karena Sumarsih melihat keseriusan negara dan anggota DPR pada masalah pelanggaran HAM berat masa lalu patut dipertanyakan.
"Saya awalnya mengajak para ibu, khususnya dari keluarga korban, untuk melakukan aksi rutin yang awalnya dilakukan di Bunderan HI dengan tanpa bicara. Namun, belum terlaksana karena banyak yang sakit. Pada 18 Januari 2007, saya mengajak dalam rapat yang dihadiri jaringan keluarga korban, untuk mengadakan aksi rutin kecil-kecilan. Dan, tanggal itu dimulai aksi Kamisan selama satu jam di depan Istana Presiden," katanya.
Dalam Aksi Kamisan itu, para peserta kebanyakan menggunakan pakaian serba hitam, payung hitam bertuliskan kasus-kasus kekerasan negara, serta foto-foto para korban. Sumarsih mengatakan, aksi akan berhenti jika hanya diikuti oleh tiga orang. Tapi, aksi yang masih berlangsung hingga sekarang ini diikuti lebih dari tiga orang. Bahkan, aksi yang sudah berlangsung ke-500 berlipatganda di berbagai daerah di Indonesia, seperti Bandung, Samarinda, Ternate, Palu, Jogja, Surabaya, Malang, Medan, dan Karawang.
"Warna hitam kami pilih bukan sebagai lambang duka cita, tetapi sebagai lambang keteguhan kami dalam mencintai para korban dan Bangsa ini," kata Sumarsih. Peserta Kamisan tak hanya para korban, tetapi banyak kalangan, khususnya anak-anak muda yang peduli pada martabat kemanusiaan - baik dari Indonesia maupun luar negeri. Bahkan, ibu-ibu dari Plaza de Mayo di Argentina, di Singapura, dan Jerman juga melakukan Aksi Kamisan. Aksi yang masih terus bertahan hanya di Indoensia. Pada Aksi Kamisan, 23 Maret 2017, dihadiri oleh Sekjen Amnesty Internasional. Ini menjadi langkah awal berdirinya Amnesty International untuk Indonesia.
Iman dan Keadilan
Apa yang dilakukan oleh Maria Sumarsih ini mengingatkan kita bahwa iman tanpa perjuangan keadilan itu adalah kosong. Sumarsih telah mengikuti langkah Yesus sendiri dalam memperjuangkan Kerajaan Allah yang berkeadilan. Keselamatan yang ditawarkan Yesus selalu mengajak orang untuk keluar dari dirinya sendiri dan mewartakan keselamatan itu kepada banyak orang. Keselamatan bukan untuk diri sendiri. Usai menyelamatkan orang, Yesus selalu mengutus untuk orang tersebut.
"Setiap tahun, umat Katolik memperingati Paskah dan di situ dilakukan pembaruan janji baptis yang salah satunya adalah kesanggupan kita untuk membela hak azasi manusia dan keadilan. Di sini, saya selalu memelihara harapan," pungkas umat Paroki Maria Kusuma Karmel (MKK) ini.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah punya kepedulian pada Hak Azasi Manusia sebagai perwujudan nyata dari iman?
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |