Gereja, Persekutuan dan Gerakan yang Selalu Terbuka dalam Bimbingan Roh Kudus
Rm. Andreas Yudhi Wiyadi, O.Carm | 15 Oct 2017, 02:06
Mgr. Suharyo mengajak kita sebagai Gereja membaca situasi, bertanya: Gereja sesuai konteks akan menjadi seperti apa? Langkah selanjutnya, Gereja sedang mencari jalan. Inilah pola pikir, perenungan dan pendalaman di tulisan ini.
1. Gereja Membaca Situasi
Mgr Haryo mengakui bahwa yang digunakan hanyalah pendekatan sederhana. Tidak berdasarkan data peneletian, dari bank data pemerintah atau dari kajian ilmiah lainnya. Pembacaan ini sangat sederhana dengan mengunakan pegamatan dan literatur dari media massa saja.
Masalah kesenjangan sosial. Indonesia tengah memelihara bahkan menciptakan kesenjangan sosial yang semakin dalam. Yang kaya semakin kaya tidk terhitung harta bendanya. Yang miskin semakin terjepit dalam kemiskinan kompleks.
Kami diminta untuk menyimak sedikit data yang dituangkan pada Surat Gembala-nya di Hari Pangan Sedunia 2017. Data mengenai masih adanya banyak saudari dan saudara kita, khususnya anak-anak, yang berkekurangan gizi memang menunjukkan bahwa keprihatinan itu layak dikedepankan. Mari kita bercermin dari data kurangnya gizi pada anak-anak di Indonesia saja. Seperti diberitakan oleh koran Tempo tanggal 12 Juli 2017 yang lalu, Menteri Kesehatan menyatakan bahwa 37,2% dari jumlah anak di Indonesia, atau sekitar 9 juta anak, mengalami kekurangan gizi. Akibatnya tampak dalam kondisi gagal tumbuh pada anak balita, sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya. Kekuarangan gizi ini terjadi sejak bayi masih berada dalam kandungan dan pada masa awal setelah lahir.
Di lain pihak, ada kenaikan cukup mencolok jumlah penderita obesitas atau kegemukan, terutama di perkotaan. Menurut Data Riset Kesehatan Nasional 2016, ada 20,7% penduduk dewasa di Indonesia menderita kegemukan. Sementara itu, anak-anak berusia 5-12 tahun yang menderita kegemukan sebesar 8,8%. Menurut Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016 dari Kementeriaan Kesehatan Republik Indonesia di wilayah DKI Jakarta, kelebihan gizi anak usia 0 - 59 bulan justru mengalami kenaikan dari 3,3 % menjadi 4,4 %. Kegemukan disebabkan oleh penumpukan lemak di badan karena konsumsi kalori yang tinggi. Kegemukan ini bisa memicu banyak penyakit. Dari satu pihak banyak saudari-saudara kita, anak-anak kita yang kekurangan gizi. Dari lain pihak ada banyak saudari-saudara dan anak-anak kita yang kelebihan kalori karena berlebihnya makanan yang disantap.
Ini penjelasan sempit hanya soal pangan. Padahal kesenjangan sosial lainnya, dalam bidang pendidikan, pekerjaan, strata sosial dan dalam ukuran kelayakan hidup manusia di Jakarta ini sangatlah mencolok. Kesenjangan ini tidak hanya menakutkan tetapi membahayakan di dalam kehidupan bersama. Karena hal ini berhubungan erat dengan hajat hidup mendasar dari setiap orang. Apalagi bila kesenjangan itu dieksploitasi dan digoreng sebagai komoditas politik, maka rentan lagi rawan akan meletus sebagai bom waktu. Pada Pilkada DKI yang baru berlalu, para politikus terang-benderang menggunakan isu seksi ini.
Masalah selanjutnya yaitu Detradisionalisasi. Mgr Haryo menjelaskan tentang detradisionalisasi akibat langsung dari globalisasi. Detradisionalisasi itu bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan 'diciptakan', tetapi tradisi dan sistem nilai yang adiluhung bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan dalam hidup sehari-hari. Orang mengalami goncangan dan kehilangan pengangan. Orang tiba-tiba masuk pada suatu rimba belantara baru yang sulit dikenali. Tidak jarang membawa kebingunan dan krisis kepercayaan, bahkan dalam beriman sekalipun.
Gereja merupakan lembaga ilahi sekalgus manusiawi. Ia hidup dalam dunia nyata. Ia bukan sebuah lembaga yang hidup di dunia antah berantah, ia bukan hidup di dalam dunia ilusi, ia hidup di dalam dunia nyata. Gereja bukanlah monasteri tempat para biarawan, rahib dan pertapa mengasingkan diri dari dunia, tapi ia merupakan sebuah organisme yang hidup yang harus memberi cahaya ilahi di tengah-tengah berbagai perubahan di dunia. Karena itu Gereja seharusnya bukan hanya menjadi lembaga pasif yang hanya menerima dampak arus globalisasi, terlebih dari itu Gereja dituntut untuk secara dinamis, kreatif mewujudkan pelayanannya di pelbagai perubahan-perubahan dunia. Gereja justru terpanggil secara nyata dan eksis sebagai organisme yang membawa budaya tanding.
2. Gereja Ingin Menjadi Seperti Apa?
Di atas tadi sudah disinggung bahwa tradisi bukan satu-satunya pegangan untuk kehidupan zaman sekarang. Orang tidak akan percaya begitu saja pada argumen tradisi. Tentu dalam hal ini termasuk segala dogma dan pengakuan iman Gereja juga akan turut dipertanyakan ulang. Umat tidak begitu gampang, mudah menerima apa yang diajarkan oleh pendeta maupun pengkhotbah di Gereja. Sering jika khotbah yang disampaikan tidak bisa diterima oleh 'nalar' jemaat, ataupun kurang sistematis sehingga sulit diterka inti berita yang dimaksudkan oleh si pengkotbah, maka jemaat akan protes dengan cara mengirim SMS, dan lain sebagainya. Hal seperti ini sangat jarang ditemui barangkali sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Tentu ke depan pemimpin umat bukan hanya dituntut untuk punya kharisma tetapi juga cakap, luas dalam pengetahuannya. Maka kreativitas dan inovasi adalah tema utama untuk bisa menjadikan Gereja bertahan hidup. Gereja yang tidak kreatif dan inovatif, meskipun dia cukup berhasil pada masa-masa silam maka perlahan akan ditinggalkan oleh umatnya dan akan menjadi bangunan kuno yang menyisakan kejayaan di masa lampau namun aus pada masa kini.
Mgr. Haryo menyatakan kita Gereja Katolik ingin menjadi Komunitas Kontras atau minoritas kreatif. Ini semua adalah buah dari analisis sejarah. Minoritas Kreatif inilah yang justru mampu bertahan dalam peredaran ruang dan waktu. Orang-orang yang tetap yakin akan nilai-nilai adiluhung yang menjadi pegangan selama ini. Yesus dan silsilah-Nya menurut Mgr. Haryo berasal dari sisa-sisa Israel (Minoritas Kreatif). Orang-orang yang tetap berpegang pada nilai-nilai dasar kemanusiaan yang ditanamkan oleh Allah dalam sejarah.
Komunitas alternatif dipromosikan oleh Mgr. Haryo adalah Komunitas harapan. Satu bukunya Community of Hope berbicara banyak tentang komunitas harapan sebagai komunitas alternatif di zaman ini.
3. Gereja Mencari Jalan
Pancasila. Di majalah Time beberapa waktu diangkat 3 masalah yang merusak dan akan menghacurkan kehidupan bersama: (a) Inequality (Kesenjangan sosial), (b) Instability (ketidakstabilan) dan (c) Insustanability (keberlangsungan hidup terancam). Rupanya ketiga masalah ini semakin merajalela, maka petaka di depan mata. Time tidak lupa pula menyampaikan lima gagasan sebagai jalan keluarnya, yakni Keadilan, Kesetaraan, Teknologi, Ekonomi dan Kesehatan.
Mgr. Suharyo secara jelas lagi tegas bahwa bagi gereja untuk mengatasi krisis itu gereja dan bangsa Indonesia mau tidak mau kembali memastikan dan mengokohkan diri pada ideologinya yakni Pancasila.
Beliau mengingatkan akan pentingnya sejarah. Karena kita mempunyai tanggungjawab sejarah itu. Lahirnya dasar negara Pancasila tidaklah taken for granted, melainkan merupakan sebuah kesepakatan yang dibuat dengan melalui perdebatan yang sangat tajam. Para pendiri negara dengan sangat cemerlang mampu memilih menyepakati pilihan yang pas tentang dasar negara sesuai dengan karakter bangsa, menjadi sebuah negara modern yang berkarakter religius, tidak sebagai negara sekuler juga tidak sebagai negara agama. Rumusan konsepsinya benar-benar diorientasikan pada dan sesuai dengan karakter bangsa. Mereka bukan hanya mampu menyingkirkan pengaruh gagasan negara patrimonial yang mewarnai sepanjang sejarah nusantara prakolonial, namun juga mampu meramu berbagai pemikiran politik yang berkembang saat itu secara kreatif sesuai kebutuhan masa depan modern anak bangsa.
Istilah Pancasila pertama kali disebut dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai filosofische grondslag, yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, yang di atasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah weltanschauung atau pandangan hidup.
Pidato Soekarno pada saat itu adalah salah satu dari rangkaian pandangan yang disampaikan dalam persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. Dokumen inilah yang nantinya menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata, menurut pembacaan sejarahnya dari kehebatan diplomasi Mohamad Hatta yang dalam 15 menit bisa meyakinkan orang-orang penting dari pelbagai golongan dan agama itu. Ini monumental dan patut dicatat dengan tinta emas betapa besar jiwa kenegarawanan para pendiri bangsa ini. Zaman sekarang mungkin lebih sulit, belum-belum wani piro. Begitu tandas Mgr. Haryo.
Walaupun pengaruh Soekarno pun cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini, di samping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno dengan penyempurnaan, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai filosofischegrondslag ataupun weltanschauung, hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Pembukaan UUD 1945 itulah yang merupakan weltanschauung dan filosofischegrondslag bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Pandangan hidup (weltanschauung), Pancasila berfungsi sebagai cita-cita atau idea yang semestinya harus selalu diusahakan untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga cita-cita itu bisa terwujud. Sebagai dasar negara (filosofische grondslag), Pancasila sebagai landasan dan panduan dasar dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat. Pancasila adalah pedoman sekaligus filter yang membingkai penyelenggaraan negara dan perkembangan masyarakat. Sila-sila Pancasila menjadi panduan dalam segala pelaksanaan aktivitas negara dan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah panduan dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan lain sebagainya. Selain itu, sebagai bingkai hukum tertinggi, Pancasila juga sepatutnya menjadi rujukan utama proses pembuatan Undang-Undang. Pancasila juga harus dijadikan ukuran untuk menguji konstitusionalitas suatu Undang-Undang.
Pada dasarnya, karena kedudukan Pancasila sebagai filofische grondslag dan weltasshauuung, setiap warga negara berhak untuk menafsirkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila sesungguhnya adalah sebuah ideologi terbuka, yang perlu untuk bersifat aktual, dinamis, antisifasif dan mampu adaptif terhadap perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya agar lebih konkret, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang selalu berkambang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman. Sebagai ideologi terbuka, falsafah negara dapat terbuka karena hanya mengenai orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma politik-sosial seharusnya selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan cita-cita masyarakat lainnya. Ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan karenanya tidak dapat dipakai untuk melegitimasikan kekuasaan sekelompok orang.
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang sejarah lahirnya Pancasila itu, Mgr. Haryo mengajak bagaimana agar Pancasila tetap menjadi ingatan kolektif dan aplikatif. Gereja bertanggung jawab menjelaskan dan menceritakan sejarah itu pada umat. Selain itu Gereja bisa mengatualkan dalam program strategis seperti yang telah dicanangkan selama 5 tahun ini (2016-2020).
Kita sebagai bangsa hendaknya tetap menanamkan dan menjalankan ingatan kolektifnya. Ada banyak tonggak dan momen penting yang terus dirawat belajar dari bangsa Israel yang telah dihantam dan dihajar oleh banyak peristiwa tragis tetap mereka sampai sekarang tetap eksis. Salah satu rahasianya karena mereka merawat dan meneruskan ingat kolektif dalam sejarah bangsa itu. sejarah kasih dan campur tangan Tuhan diingat dan dimaknai terus menerus lintas generasi.
Begitu pula Gereja Katolik universal mengalami kelanggengannya karena Gereja tidak pernah melupakan ingatan kolektifnya tentang Ekaristi Kudus. Tidak salah Gereja menetapkan Ekaristi kudus sebagai Sumber dan Puncak iman Katolik (bdk. Sacrosantum Consilium 10).
Maka para imam dipersilakan ketika merayakan Ekaristi sesering mungkin menggunakan prefasi HR Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di dunia tidak prefasi seperti yang ada di Indonesia. Ini peninggalan yang indah lagi luhur.
Bangsa indonesia hendaknya melakukan pola penghayatan dan praktik yang sama. Misalnya Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak boleh tidak harus dirayakan oleh siapapun warga negara Indonesia. Selain itu gereja tetap mendukung sepenuhnya yang bertujuan untuk tegak dan majunya bangsa Indonesia dengan 4 pilarnya: Pancasila, Bhinneka, NKRI dan UUD 1945.
Akhirnya Mrg. Suharyo mengingatkan gereja KAJ sebagai persekutuan dan gerakan yang selalu terbuka dalam bimbingan Roh Kudus. Persekutuan Gereja menurut Mgr. Haryo bukan bikinan manusia tetapi karya Allah dalam Roh Kudus. Diingatkan pula oleh beliau, persekutuan kita seperti itu bukanlah tujuan. Tujuannya Allah sendiri. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh 13:34-35). "Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku," (Yoh 17:23). Hidup dalam cinta kasih inilah yang mampu memberi kesaksian efektif untuk masyarakat kita.
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |