Indonesia Impian Soekarno: Kisah dari Ende
Leo Jegho / Wilayah 8 | 14 Aug 2016, 11:33
Tiga hari lagi, kita akan merayakan HUT ke-71 Kemerdekaan Indonesia. Saya ingin berbagi pengalaman kecil. Juli lalu, dalam suasana liburan Lebaran, kami sekeluarga mudik ke desa asal kami di Flores, NTT. Di sana, kami mampir di Ende, kota di mana Soekarno diasingkan Belanda selama empat tahun (1934-1938).
Di Minggu siang terik itu, kami berdiri di depan rumah tahanan Soekarno. Bangunan beraroma tempo dulu. Suasananya sepi. Mungkin karena Minggu dan liburan besar. Menurut kesaksian para misionaris di Ende, di rumah itu, Soekarno merenung tentang Indonesia, negeri yang (harus) merdeka dan masyarakatnya rukun.
Dari rumah Soekarno, kami pindah ke kompleks biara SVD, satu kilometer jaraknya. Kami membayangkan Soekarno yang kala itu berusia 35 tahun sering bertamu ke biara itu untuk berdiskusi dengan para pastor asal Belanda dan Jerman. Soekarno leluasa membaca buku-buku, majalah, dan surat kabar di perpustakaan SVD. Bahkan, ketika "tur" ke kampung-kampung, para romo menitipkan kunci perpustakaan pada Soekarno.
Dikisahkan, di tengah sebuah diskusi, seorang pastor bertanya kepada Soekarno "Di mana tempat mamamu yang beragama Hindu di dalam negara yang mayoritas Muslim?" Dan, di mana pula tempat orang-orang Flores yang mayoritas Katolik?
Pertanyaan Romo memaksa Soekarno mengkaji ulang pemikirannya tentang Indonesia yang diimpikannya. Akhirnya, keluarlah rumusan final tentang Pancasila, Dasar Negara yang mengayomi seluruh bangsa.
Kami makan siang di rumah makan Madura milik keluarga keturunan Madura. Perempuan paruh baya berjilbab yang mengawasi seluruh operasi restoran itu lahir di Ende, sama seperti ayahnya. Beberapa karyawatinya juga berjilbab. Wanita pengawas restoran itu bercerita tentang kerukunan warga Kota Ende yang 20 persen penghuninya penganut Islam. Bupati pertama Ende-Lio seorang Muslim. Untuk mengenang kepemimpinannya yang mengayomi, namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang Ende (Hasan Aroeboesman).
Belum lama lalu, Kongregasi SVD ikut membiayai pembangunan "Pesantren Walisanga", sekitar satu kilometer di luar kota. Pemimpin pesantren bahkan meminta frater (calon imam Katolik) ikut membina para penghuninya sebagai tenaga full-time. Maka, boleh jadi Soekarno menitikkan airmata andaikan dia hidup lagi dan melihat Ende. Air mata kebahagiaan melihat kota kecil terpencil membawa gelora Pancasila. Merdeka!
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |