Hak Asasi Manusia dan Ajaran Sosial Gereja
Beka Ulung Hapsara | 10 Dec 2017, 04:58
Dalam sejarah perkembangan dunia modern, Gereja Katolik merupakan salah satu institusi sosial keagamaan yang paling maju menyerukan tentang penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Banyak contoh yang menguatkan, dari sejarah lahirnya teologi pembebasan di Amerika Selatan, jejak kasih Mother Teresa, karya abadi Romo Y.B. Mangunwijaya atau contoh kekinian dari Paus Fransiskus yang dengan perilaku dan pernyataannya mendobrak banyak tatanan ketidakadilan dunia dan melindungi kelompok rentan dan terpinggirkan.
Peran dan sejarah Gereja tentu bukan tanpa dasar, ajaran sosial Gereja menegaskan "Karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta - karena penebusan Kristus - mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui" (GS 29).
Ajaran sosial Gereja tersebut merupakan wujud pengakuan atas pentingnya hak asasi manusia sebagai salah satu instrumen untuk menegakkan dan memulihkan harkat dan martabat manusia sebagai gambaran atau citra Allah di bumi. Pada dasarnya orang terlahir sama, sampai kemudian lingkungan keluarga, sosial masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara menjadikannya inidividu yang unik serta memiliki akses dan asset yang berbeda. Karena akses dan asset yang berbeda itu pulalah struktur sosial dan politik masyarakat menjadi bertingkat, ada yang menjadi penguasa, ada yang menindas untuk mempertahankan posisi dan kekuasaannya, ada yang kaya dan miskin, ada yang kuat dan ada pula segolongan masyarakat yang rentan dan tersisih.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, hak asasi manusia juga berada di tempat yang fundamental. Sebelum proses amandemen UUD 1945 yang menguatkan posisi hak asasi manusia, para pendiri bangsa dengan visi jangka panjangnya menempatkan hak asasi manusia sebagai tolok ukur konstitusi. Hak atas kebebasan beribadah berkeyakinan, hak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, hak atas pendidikan adalah beberapa contoh hak asasi manusia yang digaungkan para pendiri bangsa sejak awal.
Pasca reformasi, proses politik Indonesia menguatkan visi para pendiri bangsa tentang hak asasi manusia. Bab XA UUD 1945 secara khusus membahas tentang hak asasi manusia. Dari hak untuk mempertahankan hidup, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak untuk berbudaya, hak atas kepastian hukum, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sampai hak atas jaminan sosial sebagai bagian dai upaya pengembangan diri secara utuh ditabalkan dalam konstitusi negara kita.
Bagian lain UUD 1945 yaitu pasal 28I secara kuat menyebutkan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun, hak asasi tersebut antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang tidak berlaku surut.
Meskipun secara konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat, dalam pelaksanaan dan pemenuhannya, hak asasi manusia masih sering terpinggirkan dan bahkan tidak terselesaikan. Sampai sekarang Indonesia masih punya hutang sejarah penyelesaian pelanggaran HAM berat seperti tragedi kemanusiaan 65, peristiwa Talang Sari, penembakan misterius tahun 1980-an, penculikan atau penghilangan paksa aktivis demokrasi tahun 1997-1998, Tragedi dan Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, Wasior Wamena dan Tragedi Tanjung Priok.
Selain kasus di atas yang belum terselesaikan, banyak kasus-kasus terkait hak asasi manusia juga terjadi. Aduan yang masuk Komnas HAM tanggal 1 Januari sampai 31 Desember 2016 terdapat 7.188 berkas. Sebanyak 2.749 berkas berkaitan dengan hak atas kesejahteraan, hak atas keadilan 2.697 berkas, hak atas rasa aman 628 berkas, hak untuk hidup 230 berkas dan hak atas kebebasan pribadi sebanyak 203 berkas. Banyaknya kasus dan aduan yang masuk ke Komnas HAM memang menandakan banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bangsa ini, belum lagi kalau kita menghitung kasus yang menjadi tanggung jawab Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak Indonesia.
Selain kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, tantangan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia ke depan juga semakin berat dan kompleks. Kebutuhan hidup manusia bertambah banyak sementara ketersediaan sumber daya alam semakin sedikit, akibatnya konflik kepentingan semakin tidak terelakkan.
Dilihat dari trend yang terjadi beberapa tahun terakhir, tantangan hak asasi manusia ke depan antara lain; pembangunan infrastruktur yang berpotensi meminggirkan warga negara dan menghilangkan lapangan pekerjaan yang layak, konflik sumber daya alam akibat masifnya perluasan lahan perkebunan, pertambangan dan maritim yang melibatkan sektor swasta, diskriminasi hak-hak sipil politik karena proses politik lokal (pilkada), terancamnya kebebasan beribadah dan berkeyakinan serta maraknya ujaran kebencian, persekusi di media sosial yang memanfaatkan kemajuan teknologi.
Tugas Sejarah Gereja Katolik
Gereja dengan umat di dalamnya tentu tidak boleh tinggal diam melihat ketidakadilan serta merosotnya martabat umat manusia karena tidak terpenuhinya hak-hak yang paling mendasar. Sejarah Gereja adalah sejarah keselamatan dan sejarah pembebasan. Sejarah keselamatan berarti Gereja harus mampu membawa umatnya menuju keselamatan abadi di kerajaan Allah, sementara sejarah pembebasan berarti Gereja harus mampu mendorong umatnya membebaskan diri dari situasi ketidakadilan yang jauh dari harkat dan martabat sebagai manusia.
Dalam wujud yang konkret, Gereja harus terus membenahi diri secara internal sehingga tetap mampu bersandar pada wahyu Allah serta prinsip dan nilai-nilai universal Gereja Katolik di tengah derasnya arus globalisasi, teknologi informasi serta liberalisasi perdagangan yang hanya menyisakan yang kuat. Gereja harus mampu melindungi diri dari korupsi, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang seringkali berasal dari dalam Gereja sendiri.
Dalam konteks peran serta, Gereja harus mampu mendorong umatnya untuk ikut aktif dalam setiap proses pembangunan dan bersuara kritis dalam melihat ketidakadilan untuk kesetaraan manusia. Tanpa partisipasi dan suara kritis dari masyarakat, pembangunan berkualitas tidak akan tercapai.
Dalam kerangka kerja hak asasi manusia, negara sebagai penanggung jawab utama penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia harus terus dikritik dan 'didampingi' supaya tidak melenceng dari tujuan awal. Pada titik inilah Gereja Katolik bisa memainkan peran pentingnya, menuntut negara bertanggung jawab serta meminta kepada 'rights holder' masyarakat untuk memperjuangkan keadilan semua manusia, tidak hanya untuk kepentingan umat Katolik saja.
Misi Gereja dan keadilan merupakan dua elemen yang tidak bisa dipisahkan. Keadilan dan kesetaraan akan tercipta apabila Gereja dan umat di dalamnya mampu membangun tatanan hidup yang mendorong relasi sehat antar masyarakat, masyarakat dengan negara, antar negara, dan antara masyarakat dan negara-negara dalam level komunitas dunia.
Mari berhimpun dan bergerak mengubah dunia!
(Beka Ulung Hapsara)
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |