Sumpah Pemuda, Siapa Yang Disumpahin ?

  28 Oct 2010, 22:55

Cobalah iseng-iseng bertanya kepada seseorang, ala acara TV belagu berita ala gue, sebuah parodi spontan wawancara di jalanan tentang masalah serius. Bertanyalah, tahu nggak Sumpah Pemuda 28 Oktober? Jawabannya pasti lucu-lucu mungkin sudah diedit dipilih yang paling lucu dan norak). Jawaban terlucu, emang siapa yang disumpahin? Ya, jangan heran wong kehidupan kita setiap hari dipenuhi sumpah serapah. Dari mulai keluar rumah di sepanjang perjalanan ke tempat kerja, merebutkan sejengkal ruang jalan di tengah kemacetan untuk memajukan kendaraan, apalagi kalau hari hujan, genangan air di jalanan di mana-mana, lampu lalu lintas mati, pohon-pohon pada tumbang, ditambah angkot-angkot pada ngetem,tak ada etika berlalu lintas baik motor maupun mobil, dsb, dsb. Pastilah kamus kebon binatang mendadak keluar tanpa bisa ditahan.

Belum lagi suasana di luar itu, situasi sosial kekerasan atau konflik horizontal, baik etnis, kelompok, sampai mengatasnamakan agama menjadi pemandangan sehari-hari. Bahkan kehidupan menggereja juga ikutan, dari perparkiran yang semrawut. Aneh tapi nyata ketika rapat DP Pleno di paroki tetangga hari Minggu lalu, juga terdengar sumpah serapah. Gara-gara paroki itu ketika diperiksa keuangannya oleh KAJ ditanya kemana larinya uang parkir mobil? Padahal seumur-umur parkir mobil tak pernah dipungut bayaran. Padahal itu lahan uang, kata pemeriksa." Gereja kini kok madatan bener, sih? Demikian sumpah serapah para ketua lingkungan yang hadir. Nah, loe!

Maka, kalau kita berbicara tentang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang tentu menggaungkan kembali semangat nasionalisme, kehendak untuk bersatu, menjadi tertawaan nggak, ya? Kehendak bersatu, satu negara, satu bangsa dan satu bahasa. Indonesia. Karena waktu itu kita memang terpecah belah dan sengaja dipecah belah oleh penjajah. Kini, kita seperti kembali ke masa Pra - Sumpah Pemuda. Juga terpecah belah dan sengaja "dibiarkan oleh negara". Coba buka internet, pengrusakan gereja masih terus terjadi di jalur pantai utara Jawa. Gerakan sektarian sempit terus melaju bak tak tertahan.

Golongan minoritas dibiarkan sendirian, hak-hak kewarganegaraan terutama tentang kebebasan beribadah yang sama hampir tidak ada. Maka setiap peringatan hari-hari besar nasional, yang membangkitkan rasa kebangsaan dan persatuan berlalu begitu saja tanpa kesan. Jangan heran sinisme saja jika kita berbicara serius soal nasionalisme.

Nasionalisme sudah mati. Hidup kosmopolitanisme seperti kata budayawan Jakob Soemardjo. Harapan kita Gereja Katolik jangan dikelola dengan gaya kosmopolitan.

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi