Merawat Ingatan

  20 May 2011, 21:36

Setiap hari besar nasional kita diingatkan kembali bahwa kita sekarang ini boleh menikmati apa yang kita rasakan. Tak terlepas dari masa lalu terutama akan andil dari para bapak-bapak bangsa, yang berjuang untuk menjadi manusia yang berharkat dan bermartabat. Mungkin, generasi sekarang ini agak sulit membayangkan, bagaimana sih rasanya menjadi bangsa yang terjajah itu? Karena di abad digital ini semua pelajaran harus diberi contoh kongkrit sehingga kongkrit pula untuk bisa dirasakan dan dilihat. Sejarah bukan lagi pelajaran yang menarik. Gampangnya generasi terdahulu akan dicap sebagai "Alangkah bodohnya, kok, mau-maunya dijajah! Ngak mau belajar komputer, sih!"

Mau contoh kongkrit "penjajahan" zaman sekarang? Mengapa kita tak bisa berkutik ibaratnya, ketika begitu susahnya mendirikan bangunan gereja di mana-mana. Begitu juga SPIB (surat penerbitan izin bangunan) gereja-gereja yang sudah ada terutama di daerah Jabar. Di Cipanas Puncak malahan Keputusan MA, tentang izin bangunan Gereja bisa dianulir oleh Bupati. Nah, inilah rasanya kalau kita dijajah. Berani melawan? Ya, kita melawan dengan ibadah setiap hari Minggu di depan Istana Merdeka. Atau kita lawan dengan komputer. Kita sebar beritanya pelarangan dan pencabutan ijin lewat jejaring sosial.

Dan kebodohan bangsa ini sekarang terlihat nyata di berbagai kehidupan. Dimulai sejak kita keluar dari rumah untuk bekerja, suasana jalan raya yang tak beradab, bentrokan antar kampung antar etnis, rebutan lahan antar mafia, media setiap hari dipenuhi berita pejabat-pejabat negara pada korupsi. Kelompok-kelompok dengan mengatasnamakan agama tertentu memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Teroris-teroris musuh kemanusiaan dipuja-puja sebagai pahlawan. Sementara nasib bangsa sendiri yang terlunta-lunta dan teraniaya di negeri orang (TKI / TKW) tidak lebih penting. Lebih penting membela bangsa dan negara lain yang seagama. Seolah-olah agama lebih agung dari Tuhan dan perikemanusiaan.

Dengan demikian sia-sialah perjuangan bapak-bapak bangsa kita, yang sedemikian susah payahnya mereka memperjuangkan agar bangsa dan negaranya kelak mempunyai harkat dan martabat. Seperti Pancasila, warisan luhur bangsa sebagai falsafah bangsa malahan sekarang dipraktekkan di negara-negara lain. Dari ukuran Pancasila, Indonesia malah kalah dengan Timor Leste, negara yang baru muncul. Nah, dari kebodohan kita sendiri, oleh para ahli tata negara kita sudah digolongkan tinggal selangkah lagi menjadi Negara gagal.

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi