Toleransi
19 Nov 2010, 19:59
Ketika melewati jalan di daerah Cinere (antara jalan Bandung dan jalan Jakarta) untuk mengunjungi kerabat, terlihat spanduk dan baliho bertulisan segede gajah. Bunyinya "Awas orang-orang Kristen pemecah belah, sudah memasuki wilayah Cinere" dan sebagainya, dan sebagainya. Pokoknya kalau ditulis lengkap membuat bulu kuduk berdiri. Bukan takut, melainkan muak dan jijik kalau kita masih berotak sehat. Spanduk itu sangat agitatif dan provokatif dalam menentang pendirian gereja HKBP di Cinere.
Menurut kerabatku spanduk itu sudah terpampang berminggu-minggu dan anehnya, tak terkena penertiban dari satpol PP. Padahal jelas isinya bisa memecah belah di antara kita. Persis ketika persoalan Ahmadiyah yang menyeruak beberapa waktu lalu, di daerah Rawa Belong juga dipasang spanduk serupa walau tak sama.
Bandingkan jika Anda pasang spanduk promosi, promosi apapun tanpa izin, hanya hitungan jam spanduk-spanduk itu akan dicabuti oleh satpol PP kecamatan. Dan untuk kasus Cinere yang nota bene termasuk wilayah Depok, penguasa wilayah itu bahkan banyak membatalkan surat-surat izin pembangunan rumah ibadah. Aneh, kan? Surat izin yang sudah keluar dan mungkin prosesnya makan waktu bertahun-tahun, dibatalkan begitu saja. Maka tak heran kita juga tak habis pikir, mengapa negara membiarkan saja adegan seperti ini? Seolah orang-orang Kristen dan minoritas lainnya itu, hanya warga kos yang tak punya hak apa-apa di negeri ini. Tak heran pula, ketika Presiden Obama menyinggung Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika di ceramahnya di balairung UI, disambut hangat oleh hadirin. Orang lain saja begitu menghargainya begitu tinggi, sementara kita malah menelantarkannya bahkan berusaha untuk meniadakannya.
Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah warisan leluhur kita sendiri, mewujudkan rasa solidaritas dalam berbagai aspek untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama toleransi untuk kebebasan beribadah, jika disinggung dalam tatanan bermasyarakat, kok, kayanya makin terdesak makin ke pinggir. Contohnya di Depok saja, perda-perda yang keluar semua hampir semuanya berbau sektarian, anti toleransi. Saya ingat dialog dengan saudara saya almarhum Prof. Ahmad Baiquni, intelektual Muslim dan ketua Dewan Pakar ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia waktu itu. Katanya, dalam perspektif Muslim Indonesia, agama tidak dibaca dan dihadirkan sebagai ideologi ketuhanan yang dipertentangkan dengan nasionalisme dan sejenisnya. Agama lebih bersifat rujukan moral luhur transformatif yang menjadi pijakan kokoh dalam menyapa realitas kehidupan secara arif,dewasa, dan kreatif. Ajaran dan nilai Islam dikontekstualisasikan dalam waktu dan ruang kesejarahan Indonesia. Pesan Ilahi dalam Kitab Suci, yang bersifat metahistoris dan absolut ditangkap maknanya, visi dan misinya. Kemudian didialogkan dengan kehidupan kongkrit masyarakat.
Sepertinya ini juga berlaku buat kita, Katolik Indonesia.
(ED)
Lihat Juga:
Renungan Harian
Minggu, 3 Maret 2024
Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...
Jadwal Misa Rutin
Sabtu | Pukul 16:30 |
Pukul 19:00 | |
Minggu | Pukul 06:30 |
Pukul 09:00 | |
Pukul 11:30 | |
Pukul 16:30 | |
Pukul 19:00 |