Kearifan Lokal

  18 Nov 2010, 21:42

Ketika negara kita dilanda bencana alam bertubi-tubi mulai dari banjir bandang di Wasior (Papua), tsunami di Kepulauan Mentawai dan letusan Gunung Merapi di Jateng termasuk juga banjir di seluruh sudut kota Jakarta (Bang Foke, Gub.DKI menyebut bukan banjir tetapi genangan air). Maka riuhlah media masa mem-persoalkan kaitan antara ilmu pengetahuan, modernitas, religiusitas, dan kearifan lokal. Media masa yang arif me-nyoroti bertemunya kearifan lokal dengan pengamatan analisis rasional, tradisionalitas dan modernitas. Kesim-pulannya: tidak ada yang mutlak, karena kehidupan itu tidak monotafsir, selalu multi dimensi, semu.

Jujur saja kearifan lokal itu selalu hidup di tengah masyarakat, dan agama apa pun di bumi Indonesia ini selalu berdampingan dengannya. Kalau mau mengembangkan diri melalui inkulturisasi dengan budaya setem-pat, agama juga tak terlalu kaku dalam satu monotafsir. Jika kaku malahan jadi fundamentalis, akibatnya kita tahu sendiri malah bikin rusak kehidupan.

Mereka yang dari kecil mengenyam kehidupan pedesaan, pasti masih melekat pengalaman bersinggungan dengan kearifan lokal. Paling tidak piwulang, pengajaran para tetua, baik yang kita peroleh dari orang tua kita sendiri maupun tetua yang lain. Dari persoalan etika dan etiket kehidupan, sampai tanda-tanda alam. Bagi mereka yang khusus bertempat tinggal di daerah bahaya, lereng Merapi misalnya, kearifan lokal membawa perilaku bahwa Merapi itu bukan sesuatu yang menakutkan. Namun di-sikapi secara manusiawi, seperti awan piroklastik yang panasnya 600 derajat Celcius dan mematikan disebut wedus gembel, domba ternak piaraannya. Merapi diteri-ma secara utuh, dan juga berkah yang pantas disyukuri. Mengutip kata almarhum mbah Marijan "orang kaya diberi satu minta dua. Orang miskin diberi satu rasa syukurnya tak henti." Pas untuk analisa zaman sekarang ini ketika korupsi merajalela.

Memang, ada yang berpendapat kearifan lokal itu bisa saja irasional, namun itu hasil permenungan atau representasi kebersatuan psikis dari kultur manusia dengan alam. Orang Jawa pasti tahu kearifan itu membawa pesan dan kesan, orang arif itu pasti titen selalu menandai akan adanya karma. Tak jauh-jauh, almarhum bapak saya punya pesan yang paling saya ingat "titeni wae, le! Soeharto mbesuk bakal tibo krungkep nyandang isin landiisinisinke." (Tandai saja, nak! Soeharto nanti bakal jatuh tengkurap menyandang malu dan juga dipermalukan). Ini pesan 40 tahun lalu. Terbukti, kan!

Maka ketika keimanan kita sebagai umat Katolik tumbuh, maka pesan kearifan lokal itu akan menjadi ke-kayaan wawasan kita. Paling tidak menjadi pendamping ilmu pengetahuan dan analisis rasional kita masing-masing dalam menghadapi segala medan tantangan. Itu kalau kita masih mau menoleh kepada kearifan lokal. Nggak menoleh juga tidak apa-apa kok!

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi