Belajar Menghargai Orang Tua

  27 Oct 2010, 21:57

Surat pembaca Kompas (22/9/010) begitu prihatin dan nelangsa menemui patung Bung Karno, presiden pertama dan proklamator kemerdekaan RI, teronggok tak terawat di parkiran JIE (Jakarta International Ekspo Kemayoran Jakarta). Padahal patung itu pernah ditempatkan di lobi utama hall JIE. Pembaca itu bertanya mengapa patung itu dibuat hanya untuk ditelantarkan atau mengapa tidak diberikan saja kepada mereka yang berminat merawat? Surat ini menggelitik imajinasi sampai-sapai membayangkan patung Bapak Amerika, Abraham Lincoln, di hall utama Lincoln Memorial di Washington DC, dipindahkan keluar ruangan dan teronggok di taman dekat-dekat situ. Untungnya, itu tidak terjadi, karena bangsa Amerika tidak sepicik itu.

Kita baru saja melewati tanggal 30 September, September massacre, peristiwa kelam yang menimpa negeri ini. Bukan saja terjadi salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar abad ke-20 di dunia ini. Namun juga merupakan titik awal begitu piciknya sikap hormat kepada para pendahulu kita. Bukan saja Bung Karno yang menjadi urutan pertama, juga menimpa sejumlah tokoh seperti Tan Malaka dan beberapa yang lain yang dicap "komunis". Bahkan dalam buku perjalanan sastra Indonesia karangan Taufik Ismail, nama Pramudya Ananta Tour dan Sitor Situmorang terhapus. Padahal dalam percaturan sastra dunia, kedua tokoh itu mendapat kehormatan begitu tinggi. Ini hanya secuil contoh. Nah, ketika perilaku seperti ini diperlihatkan pemerintahan Orba, maka ya, keterusan ditambah hilangnya mata pelajaran budi pekerti dan sejarah. Terus merambah ke berbagai bidang kehidupan.

Bahkan di lingkungan kecil, jangan tanya lagi terutama di lingkungan perusahaan-perusahaan. Generasi penerus seolah berlaku sebagai "anak ajaib" besar sendiri tanpa kenal "bapak ibunya". Seperti tingkah Soeharto bahwa Indonesia itu "miliknya" Orientasinya "yang lalu biarkan saja berlalu", sekarang dunia milik kita. Satuan nilai seperti pengorbanan, keikhlasan, yang dahulu dimuliakan untuk membina persaudaraan, kebersamaan,perdamaian, kecukupan untuk diwariskan, semua sudah bergeser. Termasuk nilai penghormatan kepada orang tua atau para pendahulu.Generasi penerus ini bersembunyi di balik slogan jujurlah terhadap perobahan. Namun mereka lupa, di dalam agama apapun dikenal karma. Berlakunya membutuhkan waktu. Siapa menabur angin akan menuai badai.

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi