Pendidikan

  1 Apr 2011, 22:13

Hari-hari ini para orangtua yang mempunyai anak-anak usia sekolah sudah siap-siap dengan biaya pendidikan anak-anaknya. Malahan beberapa sudah mencari-cari sekolah anaknya dari TK s/d SMU, bahkan mulai mencari formulir pendaftaran ke perguruan-perguruan tinggi. Bagi mereka yang siap atau kategori "mapan", mungkin, hanya pusing mencari sekolah yang dianggap bermutu. Namun bagi orangtua kategori pas-pasan, ya, pusing tujuh keliling. Bayangkan, kita ambil contoh di sekolah Katolik saja, pasti yang mendaftar adalah mereka yang mampu.

Beberapa kenalan yang sudah kategori kakek-nenek (Adi Yuswa) pada berkomentar sama, ketika tahu berapa uang muka dan bayaran TK para cucu. Pendeknya pusing tujuh keliling jika orangtua si anak berpenghasilan kasarnya kurang dari tiga juta rupiah per bulan. Pasti kakek atau neneknya masih ikut campur tangan. Ya, kalau berdoku? Ini yang menjadi keprihatinan kitasetiap tahun dan slogan option to the poor untuk sekolah-sekolah Katolik tak pernah jalan. Alasan para penggede Gereja maupun sekolah Katolik senada, jika tak mampu mengapa harus dipaksakan masuk sekolah Katolik? Kan, sekolah lain masih banyak?

Tak jauh-jauh di sekitar Kebon Jeruk di sekeliling Gereja MBK, di kampung-kampung banyak sekolah yang berlabelkan agama tertentu. Iseng-iseng penulis tanya berapa bayaran sebulan? Membuat penulis terperangah karena hanya sebesar makan siang di warung, dari Rp 30.000 s/d Rp 50.000. Lalu, jangan disergap dengan mutunya, dong! Namun penulis angkat topi dengan para gurunya, bahkan salah satunya kenal baik dengan penulis. Ia menjawab pertanyaanku dan jawabannya menimbulkan rasa haru. Anak-anak tukang becak dan pemulung juga perlu sekolah pak! Memang, mereka itu, mungkin, tidak akan bercita-cita anaknya akan sekolah ke luar negeri, atau ngoyo woro, lamunan anaknya akan masuk jajaran para baby boomers, jet set dan lain-lain. Mungkin, bisa membaca menulis dan sedikit pengetahuan umum, orang tuanya sudah puas?

Dari realitas ini bisa kita tarik kesimpulan, bahwa ada soal besar bagi banyak orang tua untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mencakup pilar utama, yaitu pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan kebutuhan permukiman. Dari dasarnya saja sudah rapuh, yaitu pendidikan, maka rasa keadilan untuk menuju kesejahteraan terus berjalan timpang. Tak heran dalam kehidupan metropolitan, yang kaya bertambah kaya, yang miskin terus saja miskin. Seandainya Gereja Katolik mempunyai opsi seperti keputusan SAGKI, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, yaitu peduli kepada mereka yang tak berdaya. Coba praktekkan dulu di sekolah-sekolah Katolik. Ini bukan insinuasi tetapi suara hati nurani. (ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi