Menjadi "Betlehem" di Tengah Kota Besar

 Rm. Ignasius Budiono, O.Carm  |     19 Nov 2017, 13:26

Para Karmelit telah hadir di Keukupan Agung Jakarta sejak tahun 1972. Kiranya merupakan rencana Tuhan, agar Ordo Karmel (O.Carm) hadir dan berkarya di sini untuk ikut mengambil bagian dalam misi Gereja "mewartakan Kerajaan Allah" di Ibu Kota Negara kita ini. Sebagaimana yang lain, para Karmelit ambil bagian untuk mewujudkan kebijakan Keuskupan Agung yang tertuang dalam "Arah Dasar". Namun, para Karmelit juga hadir dengan kharisma/spiritualitas Ordo. Karmel juga dipanggil untuk membagikan kharismanya itu bagi kehidupan umat di kota besar ini, dengan hadir sebagai suatu komunitas yang berdoa dan profetis di tengah umat. Kehadiran para Karmelit di Paroki ini mempunyai misi penting, yakni bagaimana mengajak umat menghayati hidup ini "di hadirat Allah". Para Karmelit dipanggil untuk menemani umat agar perjalanan perjalanan hidup ini menjadi perjalanan batin, di mana anda mengalami karya Allah yang Baik dan mengubah.

Menjadi "Betlehem" di Tengah Kota Besar

Tahun ini Paroki Maria Bunda Karmel (MBK) Tomang Jakarta merayakan 45 Tahun berdirinya. Sekarang paroki ini berkembang menjadi salah satu paroki yang paling besar di Ibu Kota Jakarta. Ketika itu, tahun 1972 Ordo mengutus Rm. Carmelus Kwee Thiam Gie, O.Carm. yang kemudian dibantu oleh Rm. Hardowidagdo, O.Carm. Gereja MBK bermula dari sebuah "gereja bedeng" saja. Namun oleh umat waktu itu "gereja bedeng" ini disebut sebagai "Gereja Betlehem". Saya merasa bahwa kisah permulaan ini bukan hanya sebuah kebetulan, tetapi membawa pesan penting bagi Gereja MBK untuk kehadiran dan misinya!

Menjadi Palungan, tempat berdoa.

Dalam rekoleksi bersama dengan para Romo dan Bruder di Karmel di Jakarta pada bulan Maret 2017 lalu, saya mengangkat bahan renungan dari Mazmur 1. Mazmur 1 mengingatkan para Karmelit pada Regula Karmel no. 10 "Masing-masing hendaknya tinggal di biliknya atau di dekatnya, sambil merenungkan hukum Tuhan siang dan malam serta berjaga dalam doa, kecuali bila sibuk dengan pekerjaan lain yang wajar." Demikian, pilar pertama spiritualitas Karmel adalah doa dan panggilan para Karmelit adalah "mendengarkan dan merenungkan Sabda Tuhan". Demikian umat juga dipanggil untuk berlajar menjadi pendoa dan belajar mencintai Sabda Tuhan.

Mazmur ini berbicara tentang dua jalan hidup manusia: "menjadi orang benar atau menjadi orang fasik". Kehidupan di kota besar seperti Jakarta kiranya juga seperti itu. Sehari-hari kita dihadapkan pada pilihan: menjadi orang benar atau menjadi fasik! Menjadi orang fasik itu adalah godaan setiap hari karena terasa lebih mudah dan menarik! Sebaliknya, tidak mudah bertahan dalam pilihan menjadi orang benar! Dalam tantangan kehidupan semacam ini, orang sungguh butuh fondasi yang kuat untuk hidup, dan itu hanya bisa kita dapatkan pada Sabda Tuhan. Demikian, Sabda Tuhan menjadi kunci bagi hidup yang "subur dan berbuah". Hidup yang subur/berbuat ini tidak harus berarti kelimpahan materi, melainkan hidup yang dijiwa oleh Sabda Tuhan.

Cikal bakal gereja MBK ini pernah disebut sebagai "Gereja bedeng", mungkin dengan pesan agar kapanpun menjadi "palungan Betlehem". Kata bahasa Ibrani "Beth-lehem" sendiri artinya "rumah roti" (Beth=rumah; lehem=roti). Demikian, mungkin seperti Betlehem, gereja MBK dipanggil agar menjadi tempat umat menemukan roti, yakni "roti hidup". Gereja kita perlu sungguh menjadi tempat umat berdoa, seperti palungan Betlehem, di mana umat belajar menghayati dan menghadapi hidup ini dengan sikap doa dan sujud di hadapan Tuhan. Demikian, Gereja kita bisa tumbuh menjadi tempat menemukan "roti" dan "oase rohani", di mana umat mendapatkan kesegaran dan kekuatan rohani.

Ini kiranya makna penting kehadiran Gereja kita di sini. Sebab, di tengah hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta ini, di mana orang beresiko "hilang". Bagaimana supaya kita tidak hilang di tengah hiruk pikuk dunia? Tradisi Karmel mengajar supaya orang belajar menemukan keheningan. Dalam keheningan orang belajar menemukan kebeningan hati dan budi. Karena itu, Gereja kita perlu bukan hanya menyediakan tempat, melainkan juga perlu mengajak dan menyediakan kesempatan umat untuk berlatih meditasi, doa hening, dsb, untuk membawa kita bertemu dengan Tuhan. Demikian juga, perayaan-perayaan liturgi semestinya tidak dijalankan sekedar "formalitas", tetapi menjadi "liturgi yang hidup dan membebaskan", dan sungguh membawa umat pada pertemuan dengan Tuhan. Di sini kecintaan pada Sabda Tuhan mendapat tekanan dalam pelayanan pastoral di paroki. Lectio Divina sangat baik jika dipraktekkan oleh pribadi-pribadi, maupun di lingkungan, wilayah dan paroki, sehingga umat sungguh dekat dengan Sabda Tuhan; dan Kitab Suci menjadi buku doa umat.

Menjadi Kawanan Para Gembala

Betlehem kiranya juga menjadi lambang persaudaraan. Para gembala di Betlehem adalah sebuah kawanan bersama. Mereka hidup dan bekerja bersama; mereka bergegas bersama-sama (guyub) menuju Betlehem. Persaudaraan adalah pilar kedua spiritualitas Karmel (Konstitutusi Ordo Karmel 29-42). Paroki MBK juga dipanggil untuk menunjukkan semangat persaudaraan dan kebersamaan ini. Persaudaraan adalah wujud bahwa kita dekat dengan Allah. Semangat persaudaraan ini nampak dalam keramah-tamanan kita menerima dan menyapa satu sama lain. Gereja dan pastoran kita harus menjadi Gereja dan pastoran yang terbuka bagi semua. Demikian, maka Gereja yang kita layani menjadi "Gereja yang hidup dan Gereja yang didatangi", Gereja yang ramah dan sungguh menjadi rumah, bagi umatnya. Demikian, paroki kita bisa menjadi "Betlehem" di tengah kota Besar Jakarta.

Kesederhanaan dan berbagi adalah semangat yang kita baca dari kandang di Betlehem. Para gembala itu berkumpul bersama dengan Maria dan Yusuf di sekeliling Yesus, bayi ilahi yang ditaruh dalam palungan dan dibungkus dengan lampin! Kesederhanaan juga selalu menjadi ciri dari komunitas-komunitas dan Gereja yang otentik. Walaupun sebagai Paroki yang besar kita butuh berbagai fasilitas yang mau tidak mau harus ada, pastoran dan gereja kita perlu mempertahankan cirinya sebagai kehadiran yang sederhana, namun menampilkan kehangatan, keakraban dan solidaritas sebagai saudara dengan seluruh umat dan tetangga, sehingga seperti "Betlehem" [Rumah Roti]. Semangat persaudaraan itu kemudian nampak dalam semangat dan habitus berbagi dengan sesama umat dan para tetangga, dengan apa yang ada pada kita.

"Memberitakan Kesukaan besar"

"Aku memberitakan kepadamu kesukaan besar", demikian kata Malaikat kepada para gembala (Luk 2,10). Para gembala ini segera berangkat ke Betlehem, tanpa menunda-nunda. Para Karmelit juga dipanggil untuk karya pelayanan: "Pengalaman akan Allah yang mengutus kita" (RIVC 45-54). Demikian juga umat dan paroki MBK dipanggil untuk melayani. Ini suatu tugas yang tidak boleh ditunda-tunda.

Untuk misi [tugas pelayanan] apa paroki MBK hadir di Ibukota ini? Seperti pewartaan di Betlehem itu, untuk membawa kabar sukacita [kesukaan besar]! Kehadiran kita sebagai umat, sebagai lingkungan, wilayah dan paroki adalah membawa dan mewartakan sukacita.

Di sini, Komunitas Basis Gerejani (KBG), yang pada dasarya berakar dari tradisi Kitab Suci (tradisi kaum anawim dan tradisi go'el/menebus), bisa mempunyai arti penting. Seperti sekelompok para gembala Betlehem, KBG dalam bentuknya lingkungan-lingkungan kita, diutus memberitakan kabar sukacita kepada umat yang terwujud dalam sikap tanggap, peduli dan solider; saling membantu dan melayani satu sama lain, dalam menghadapi suka duka dan permasalahan hidup sehari-hari.

Sebagaimana di Betlehem, berita gembira itu diwartakan pertama-tama pada para gembala, kelompok yang terpinggirkan, Gereja MBK juga dipanggil untuk memberi perhatian pada yang miskin dan yang membutuhkan. Gereja dan umat MBK yang dilimpahi berkat Tuhan, dipanggil untuk menjadi berkat dan untuk mewujudkan pesan Betlehem, yakni: "damai sejahtera di bumi" (Luk 2,14b), terutama bagi mereka yang menderita, membutuhkan dan kekurangan itu, agar merekapun merasakan hidup yang lebih adil, lebih damai dan sejahtera.

Saya mendengar, bahwa kunjungan pastoral telah telah lama dipraktekkan selama ini di MBK. Ini kiranya perlu dipuji dan perlu dilanjutkan, bahkan bukan hanya oleh para pastor, tetapi juga oleh siapa saja, baik para pengurus (wilayah, lingkungan), tetapi juga oleh umat sebagai pribadi-pribadi. Ini nampak sederhana. Namun itu mempunyai makna penting, yakni meneruskan pesan Betlehem, bahwa Allah mengunjungi kita umatNya. Kunjungan dan dilaturahmi ini hendaknya tidak terbatas di antara umat kita, tetapi juga dengan siapapun, dengan sesama umat dari iman dan tradisi kepercayaan lain. Kita semua dipanggil untuk membawa pesan Betlehem, yakni: "damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya" (Luk 2,14b). Seperti Belehem yang menjadi tempat yang dituju "orang-orang majus dari Timur" (Mat 2,11), Gereja kita juga perlu menjadi tempat berkumpul setiap orang yang mau mencari Tuhan dengan hati tulus.

Demikian, sebuah coretan kecil dari saya untuk memperingati 45 tahun paroki MBK Jakarta ini. Bukanlah kebetulan jika pada awal gereja pertama yang menjadi cikal bakal dari paroki kita disebut "Gereja Betlehem". Walaupun situasi sudah sangat berubah, tetapi kiranya nama yang diberikan tanpa sengaja oleh umat itu mempunyai pesan penting bagi kita. Paroki MBK dipanggil untuk menjadi "Betlehem", tempat sederhana tetapi tempat umat sungguh menemukan orientasi hidup, bertemu dengan Tuhan Yesus, Roti Kehidupan dan tempat menemukan keramahtamahan persaudaraan dan pelayanan.

Selamat pada para konfrater dan seluruh umat Paroki Maria Bunda Karmel Jakarta untuk pesta iman ini.

Malang, 24 Oktober 2017

Rm. Ignasius Budiono, O.Carm.

Provinsial Ordo Karmel Indonesia

Lihat Juga:

Artikel Lainnya...  Kembali

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi